Wednesday 22 January 2014

1 APRIL


LOMBA MENULIS CERPEN
KANTOR BAHASA PROVINSI JAMBI
JUDUL
1 APRIL



JAMBI SMAN 11 KOTA
 
1 April
Cahaya bulan iringi angin malam dari sudut yang gelap. Suasana diberbagai sudut alun-alun kota sekarang menjadi ramai oleh para anak muda melayu jambi. Berbagai tempat pun dipenuhi para penjual makanan dan minuman. Ditambah cahaya lampu jalan yang remang-remang. Aku berada diantara mereka. Tempat ini namanya jembatan makalam. Begitu orang-orang disini menyebutnya. Jembatan ini dibuat karena dibawah terdapat aliran anak sungai dari sungai Batanghari.
“Bang, pesan bandreknya satu!” teriakku pada seorang penjual bandrek yang berjualan di pinggir jembatan.
Namaku Tebing. Aku baru lulus dari fakultas teknik mesin di Tokyo. Lulus dengan jalur beasiswa. 5 tahun yang lalu, aku adalah seorang pelajar bangku sekolahan SMA di kota ini, kota Jambi. Berada disini membuatku bernostalgia mengenang masa lalu.
Waktu itu murid laki-laki sedang bermain kartu remi di kelas saat jam istirahat. Sesekali kami bercanda menyelinginya. Sera adalah anak perempuan yang daritadi memperhatikanku. Seperti biasa wajahnya merona kalau melihatku. Dia satu-satu murid disini yang punya nenek kandung asli orang Belanda. Rambutnya pirang coklat tua panjang, matanya yang khas bewarna sama dengan rambutnya, dan pipinya kemerah-merahan.
“Skak !” teriak salah seorang mengalihkan arah mataku dari Sera.
“Skak udel mu? Nih lihat, kartuku tinggal satu!” sahut Adi didepanku yang punya jambul khas miliknya.
Aku kembali melirik ke dua kartu ditangan ku. Keduanya bergambar badut senyum. “Joker. Aku menang!” ucapku spontan.
“Wah, tumben sekali si Tebing ini bisa menang, biasanya kan dia yang selalu kalah” ucap Kribo yang tadi berteriak skak.
Kami memang sedang bermain kartu remi. Tapi ini bukanlah judi kawan, karena kami tidak mempertaruhkan apapun disini. Kami Cuma sekedar mengambil asyik saja. Namun situasi di kelas seperti ini tidak berlangsung lama. Bel sekolah berbunyi. Pria paruh baya berpakaian seragam cokelat lalu masuk. Tentu saja beliau adalah guru yang akan mengajar kami. Sepanjang pelajaran aku menyadari kalau sera melirikku hingga jam usai.
Berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, Sera terus saja begitu. Bahkan sikapnya sangat baik padaku. Awalnya aku terus saja acuh tak acuh. Hingga suatu malam aku memberanikan diri untuk bertanya lewat facebook. Dan itu adalah kala pertama aku menegurnya diluar jam sekolah.
“Hai.”
“Iya. Hai juga….”
“Kamu Sera, kan?”
“Iya. Aku Sera teman sekelas kamu.”
“Aku boleh Tanya?”
“Mau Tanya apa?”
“Kenapa kalau disekolah kamu sering merhatiin aku? Apa ada yang salah?”
2 jam aku menunggu. Sama sekali tidak ada balasan dari Sera. Kemudian aku kembali mengirim pesan lagi.
“ Kalau tidak dikasih tahu juga tak apa-apa. Tapi aku penasaran. Apa itu karena kamu suka sama aku? “
“Sepertinya kamu sudah tahu perasaan aku. Jujur, aku malu ngomongnya…”
“Jadi benar?
“Iya. Maaf sebelumnya.”
Kali ini gantian aku pula yang tidak membalas. Aku langsung diam seribu bahasa. Perasaanku jadi campur aduk tidak karuan. Terus kepikiran setiap waktu. Kadang merasa senang, kadang juga merasa aneh. Kalau diperhatikan, aku bukanlah siswa yang paling tampan dikelas. Soal kantong, sebenarnya ayahku hanyalah seorang buruh, padahal aku tahu kalau sera berasal dari keluarga yang kaya.
Keesokan harinya, aku mencoba bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Berpura-pura acuh tak acuh seperti biasa. Membiarkan waktu berlalu dengan terus begitu.
Suatu ketika, aku lupa bahwa salah satu buku milikku tertinggal dikelas. Padahal sudah hampir setengah jalan aku sampai di rumah. Aku terpaksa kembali ke kelas. Biasanya Sera adalah yang paling akhir pulang kerumah. Aku sudah mengira bakal bertemu dengannya nanti.
Didepan pagar sekolah sudah hampir  tidak ada orang. Mungkin tinggal lima orang saja karena aku tidak terlalu memperhatikan. Letak kelasku yang paling jauh. Aku harus turun naik dua kali lewat tangga kebelakang sekolah. Suara langkahku terdengar keras.
Setelah masuk kelas, aku terkejut melihat Sera masih duduk dibangkunya. Sera menutup wajahnya diatas meja. Seakan lupa dengan tujuanku tadi, aku buru-buru mendekat. “Kamu baik-baik aja, Ser?” tanyaku.
Aku mendengar nafasnya tidak teratur dan sesak. Tubuhnya tampak pucat dan bergemetaran. Aku menjadi panik. Sesekali aku mendengar Sera menangis. Dia benar-benar kesulitan menarik nafas. Aku binggung karena keluar pun sudah tidak ada lagi orang lain di sekolah untuk dimintai tolong. Entah apa yang ada dipikiranku, aku hanya terpikir untuk tetap berada disitu.
30 puluh menit pun berlalu. Tak sepatah katapun terucap dari mulut kami. Aku hanya berada disebelah Sera sambil memegang tangannya.
“Kenapa belum pulang? Pulanglah…” ucap Sera memulai percakapan.
“Nanti saja. Aku mau nunggu Sera disini.”
“Aku tidak apa-apa. Aku udah biasa”  ucapnya lagi seraya mengusap mata.
“Kamu sakit apa?” tanyaku.
Sera Cuma diam, dia tak menjawab.
“Jam berapa biasanya kamu dijemput pulang?”  ucapku menambah pertanyaan.
“Papa biasanya baru jemput jam 3. Dan ini udah di sms. Aku pulang dulu ya, papa sudah nunggu di depan” ucapnya. Sera langsung berkemas. Aku membantu memasukkan beberapa buku kedalam tas.
Sera lalu bergegas menuju pintu. Dengan suara pelan dia bilang sesuatu. “Terimakasih ya…” begitu yang aku dengar.
Aku melirik kearah jam di dinding kelas. Tanpa sadar sekarang telah pukul 3 lewat 10. Setelah mengambil buku milikku yang tinggal, aku pun langsung pulang.
Setelah satu bulan lamanya, aku baru tahu kalau Sera punya penyakit di saluran pernafasan. Hal ini ternyata punya dampak pengaruh penyempitan pada pembuluh darah dan mengganggu sistem kekebalan. Dia bahkan tidak pernah terlihat putus asa. Sera selalu berusaha terlihat ceria di depan orang-orang. Benar-benar hebat. Benar-benar orang yang tegar.
Sehabis Ujian Akhir, aku dan Sera bertemu diatas jembatan. Mungkin hanya untuk sekedar ngobrol. Tapi aku tahu bahwa setelah ini kami akan berpisah. Biarpun dalam kondisi yang seperti saat itu Sera tetaplah semangat menghadapi ujian. Kami bercerita tentang tujuan kami selanjutnya.
“Ya. Aku akan berusaha masuk fakultas teknik mesin. Aku ingin menciptakan indutri peralatan mesin buatan Negara kita sendiri!” ucapku penuh percaya diri. “Nah, kalo Sera?”
“Entahlah. Sera tidak tahu.”
“Loh?”
“Sera bersyukur masih bisa hidup sampai saat ini. Sera sangat senang bisa mengenal Tebing. Terimakasih ya, selama ini Tebing selalu jagain Sera.”
Ucapan Sera barusan benar-benar mengejutkanku. Aku merasa kali ini ada sesuatu darinya. Dari gerik tubuh dan gayanya berbicara membuatku curiga. Mungkin saat ini adalah waktu yang pas bagiku untuk mengatakan jawaban atas perasaan Sera padaku selama ini. Aku menarik nafas dalam-dalam. Dengan posisi tubuh kami yang menghadap ke pinggiran jembatan dan bersebelahan, aku mulai menatap wajahnya dengan berani. Pandangan Sera juga berbelok kearahku. Kami saling berpandangan selama
10 detik
.
.
30 detik
.
.
60 detik
“Sera… aku…”
Tiba-tiba sebuah mobil memberi klakson dari belakang kami. Mobil mewah Avanza putih itu tak lain adalah mobil milik papa Sera.
“Sera mau pergi berobat. Sera do’a kan semoga kamu berhasil mewujudkan cita-cita” ucapnya.
“5 tahun lagi setelah aku lulus kuliah, aku pasti bakal kembali ke Jambi. Berjanjilah untuk bertemu lagi disini ditanggal yang sama dengan hari ini.”
“Iya…Sera janji.”
“Aku pasti kembali tanggal 1 april !!”
Aku pikir aku salah lihat. Tapi waktu itu aku melihat Sera menangis saat masuk mobil. Andai sebelum mobil menjemput Sera aku sempat mengatakan apa yang ingin aku katakan. Waktu itu aku ingin bilang, “Sera…aku… Aku juga punya perasaan yang sama denganmu dari awal. Aku mencintaimu!”.
Setelah perpisahan itu aku tak lagi mendengar tentang kabarnya. Semua akun Sera di facebook dan twitter telah diblokir. Jangankan email, bahkan nomor teleponnya pun tidak lagi aktif. Tak bisa dijelaskan bagaimana rindunya aku padanya. Hari ini adalah tanggal 1 April seperti yang kami janjikan. Sudah dari siang tadi aku menunggu disini. Namun sampai sekarang aku belum melihatnya ada. Sekarang sudah hampir tengah malam. 10 menit lagi akan tepat pukul 00:00 WIB.
“Ini bang, bandreknya” ucap penjual bandrek mengantarkan bandrek yang tadi kupesan ke hadapanku.
“Oh, iya terimakasih” balasku.

TAMAT

https://www.facebook.com/pages/NOOR-ARIF/191229797591422?ref=hl
https://twitter.com/M_noorARIF

No comments:

Post a Comment

© 2012 Segenggam Cahaya | Powered by Blogger | Design by Enny Law - Supported by IDcopy