LOMBA
MENULIS CERPEN
KANTOR
BAHASA PROVINSI JAMBI
JUDUL
1
APRIL
JAMBI SMAN 11 KOTA
1
April
Cahaya
bulan iringi angin malam dari sudut yang gelap. Suasana diberbagai sudut
alun-alun kota sekarang menjadi ramai oleh para anak muda melayu jambi.
Berbagai tempat pun dipenuhi para penjual makanan dan minuman. Ditambah cahaya
lampu jalan yang remang-remang. Aku berada diantara mereka. Tempat ini namanya
jembatan makalam. Begitu orang-orang disini menyebutnya. Jembatan ini dibuat
karena dibawah terdapat aliran anak sungai dari sungai Batanghari.
“Bang,
pesan bandreknya satu!” teriakku pada seorang penjual bandrek yang berjualan di
pinggir jembatan.
Namaku
Tebing. Aku baru lulus dari fakultas teknik mesin di Tokyo. Lulus dengan jalur
beasiswa. 5 tahun yang lalu, aku adalah seorang pelajar bangku sekolahan SMA di
kota ini, kota Jambi. Berada disini membuatku bernostalgia mengenang masa lalu.
Waktu
itu murid laki-laki sedang bermain kartu remi di kelas saat jam istirahat. Sesekali
kami bercanda menyelinginya. Sera adalah anak perempuan yang daritadi
memperhatikanku. Seperti biasa wajahnya merona kalau melihatku. Dia satu-satu
murid disini yang punya nenek kandung asli orang Belanda. Rambutnya pirang
coklat tua panjang, matanya yang khas bewarna sama dengan rambutnya, dan
pipinya kemerah-merahan.
“Skak
!” teriak salah seorang mengalihkan arah mataku dari Sera.
“Skak
udel mu? Nih lihat, kartuku tinggal satu!” sahut Adi didepanku yang punya jambul
khas miliknya.
Aku
kembali melirik ke dua kartu ditangan ku. Keduanya bergambar badut senyum.
“Joker. Aku menang!” ucapku spontan.
“Wah,
tumben sekali si Tebing ini bisa menang, biasanya kan dia yang selalu kalah”
ucap Kribo yang tadi berteriak skak.
Kami
memang sedang bermain kartu remi. Tapi ini bukanlah judi kawan, karena kami
tidak mempertaruhkan apapun disini. Kami Cuma sekedar mengambil asyik saja. Namun
situasi di kelas seperti ini tidak berlangsung lama. Bel sekolah berbunyi. Pria
paruh baya berpakaian seragam cokelat lalu masuk. Tentu saja beliau adalah guru
yang akan mengajar kami. Sepanjang pelajaran aku menyadari kalau sera melirikku
hingga jam usai.
Berhari-hari,
berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, Sera terus saja begitu. Bahkan sikapnya
sangat baik padaku. Awalnya aku terus saja acuh tak acuh. Hingga suatu malam
aku memberanikan diri untuk bertanya lewat facebook. Dan itu adalah kala
pertama aku menegurnya diluar jam sekolah.
“Hai.”
“Iya.
Hai juga….”
“Kamu
Sera, kan?”
“Iya.
Aku Sera teman sekelas kamu.”
“Aku
boleh Tanya?”
“Mau
Tanya apa?”
“Kenapa
kalau disekolah kamu sering merhatiin aku? Apa ada yang salah?”
2
jam aku menunggu. Sama sekali tidak ada balasan dari Sera. Kemudian aku kembali
mengirim pesan lagi.
“
Kalau tidak dikasih tahu juga tak apa-apa. Tapi aku penasaran. Apa itu karena
kamu suka sama aku? “
“Sepertinya
kamu sudah tahu perasaan aku. Jujur, aku malu ngomongnya…”
“Jadi
benar?
“Iya.
Maaf sebelumnya.”
Kali
ini gantian aku pula yang tidak membalas. Aku langsung diam seribu bahasa.
Perasaanku jadi campur aduk tidak karuan. Terus kepikiran setiap waktu. Kadang
merasa senang, kadang juga merasa aneh. Kalau diperhatikan, aku bukanlah siswa
yang paling tampan dikelas. Soal kantong, sebenarnya ayahku hanyalah seorang
buruh, padahal aku tahu kalau sera berasal dari keluarga yang kaya.
Keesokan
harinya, aku mencoba bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Berpura-pura acuh tak
acuh seperti biasa. Membiarkan waktu berlalu dengan terus begitu.
Suatu
ketika, aku lupa bahwa salah satu buku milikku tertinggal dikelas. Padahal
sudah hampir setengah jalan aku sampai di rumah. Aku terpaksa kembali ke kelas.
Biasanya Sera adalah yang paling akhir pulang kerumah. Aku sudah mengira bakal
bertemu dengannya nanti.
Didepan
pagar sekolah sudah hampir tidak ada
orang. Mungkin tinggal lima orang saja karena aku tidak terlalu memperhatikan.
Letak kelasku yang paling jauh. Aku harus turun naik dua kali lewat tangga
kebelakang sekolah. Suara langkahku terdengar keras.
Setelah
masuk kelas, aku terkejut melihat Sera masih duduk dibangkunya. Sera menutup
wajahnya diatas meja. Seakan lupa dengan tujuanku tadi, aku buru-buru mendekat.
“Kamu baik-baik aja, Ser?” tanyaku.
Aku
mendengar nafasnya tidak teratur dan sesak. Tubuhnya tampak pucat dan
bergemetaran. Aku menjadi panik. Sesekali aku mendengar Sera menangis. Dia
benar-benar kesulitan menarik nafas. Aku binggung karena keluar pun sudah tidak
ada lagi orang lain di sekolah untuk dimintai tolong. Entah apa yang ada
dipikiranku, aku hanya terpikir untuk tetap berada disitu.
30
puluh menit pun berlalu. Tak sepatah katapun terucap dari mulut kami. Aku hanya
berada disebelah Sera sambil memegang tangannya.
“Kenapa
belum pulang? Pulanglah…” ucap Sera memulai percakapan.
“Nanti
saja. Aku mau nunggu Sera disini.”
“Aku
tidak apa-apa. Aku udah biasa” ucapnya
lagi seraya mengusap mata.
“Kamu
sakit apa?” tanyaku.
Sera
Cuma diam, dia tak menjawab.
“Jam
berapa biasanya kamu dijemput pulang?” ucapku menambah pertanyaan.
“Papa
biasanya baru jemput jam 3. Dan ini udah di sms. Aku pulang dulu ya, papa sudah
nunggu di depan” ucapnya. Sera langsung berkemas. Aku membantu memasukkan
beberapa buku kedalam tas.
Sera
lalu bergegas menuju pintu. Dengan suara pelan dia bilang sesuatu. “Terimakasih
ya…” begitu yang aku dengar.
Aku
melirik kearah jam di dinding kelas. Tanpa sadar sekarang telah pukul 3 lewat
10. Setelah mengambil buku milikku yang tinggal, aku pun langsung pulang.
Setelah
satu bulan lamanya, aku baru tahu kalau Sera punya penyakit di saluran
pernafasan. Hal ini ternyata punya dampak pengaruh penyempitan pada pembuluh
darah dan mengganggu sistem kekebalan. Dia bahkan tidak pernah terlihat putus
asa. Sera selalu berusaha terlihat ceria di depan orang-orang. Benar-benar
hebat. Benar-benar orang yang tegar.
Sehabis
Ujian Akhir, aku dan Sera bertemu diatas jembatan. Mungkin hanya untuk sekedar
ngobrol. Tapi aku tahu bahwa setelah ini kami akan berpisah. Biarpun dalam
kondisi yang seperti saat itu Sera tetaplah semangat menghadapi ujian. Kami
bercerita tentang tujuan kami selanjutnya.
“Ya.
Aku akan berusaha masuk fakultas teknik mesin. Aku ingin menciptakan indutri
peralatan mesin buatan Negara kita sendiri!” ucapku penuh percaya diri. “Nah,
kalo Sera?”
“Entahlah.
Sera tidak tahu.”
“Loh?”
“Sera
bersyukur masih bisa hidup sampai saat ini. Sera sangat senang bisa mengenal
Tebing. Terimakasih ya, selama ini Tebing selalu jagain Sera.”
Ucapan
Sera barusan benar-benar mengejutkanku. Aku merasa kali ini ada sesuatu darinya.
Dari gerik tubuh dan gayanya berbicara membuatku curiga. Mungkin saat ini
adalah waktu yang pas bagiku untuk mengatakan jawaban atas perasaan Sera padaku
selama ini. Aku menarik nafas dalam-dalam. Dengan posisi tubuh kami yang
menghadap ke pinggiran jembatan dan bersebelahan, aku mulai menatap wajahnya
dengan berani. Pandangan Sera juga berbelok kearahku. Kami saling berpandangan
selama
10
detik
.
.
30
detik
.
.
60
detik
“Sera…
aku…”
Tiba-tiba
sebuah mobil memberi klakson dari belakang kami. Mobil mewah Avanza putih itu
tak lain adalah mobil milik papa Sera.
“Sera
mau pergi berobat. Sera do’a kan semoga kamu berhasil mewujudkan cita-cita”
ucapnya.
“5
tahun lagi setelah aku lulus kuliah, aku pasti bakal kembali ke Jambi.
Berjanjilah untuk bertemu lagi disini ditanggal yang sama dengan hari ini.”
“Iya…Sera
janji.”
“Aku
pasti kembali tanggal 1 april !!”
Aku
pikir aku salah lihat. Tapi waktu itu aku melihat Sera menangis saat masuk
mobil. Andai sebelum mobil menjemput Sera aku sempat mengatakan apa yang ingin
aku katakan. Waktu itu aku ingin bilang, “Sera…aku… Aku juga punya perasaan
yang sama denganmu dari awal. Aku mencintaimu!”.
Setelah
perpisahan itu aku tak lagi mendengar tentang kabarnya. Semua akun Sera di
facebook dan twitter telah diblokir. Jangankan email, bahkan nomor teleponnya
pun tidak lagi aktif. Tak bisa dijelaskan bagaimana rindunya aku padanya. Hari
ini adalah tanggal 1 April seperti yang kami janjikan. Sudah dari siang tadi
aku menunggu disini. Namun sampai sekarang aku belum melihatnya ada. Sekarang sudah
hampir tengah malam. 10 menit lagi akan tepat pukul 00:00 WIB.
“Ini
bang, bandreknya” ucap penjual bandrek mengantarkan bandrek yang tadi kupesan
ke hadapanku.
“Oh,
iya terimakasih” balasku.
TAMAT
https://www.facebook.com/pages/NOOR-ARIF/191229797591422?ref=hl
https://twitter.com/M_noorARIF
https://twitter.com/M_noorARIF
No comments:
Post a Comment