Perubahan
Iklim Ganggu Produksi Ikan di Jambi
Posted on 03 September 2010
Jambi, (ANTARA) - Perubahan iklim yang ekstrim terjadi
belakangan ini menyebabkan produksi ikan segar dan ikan kering di wilayah
pantai timur Provinsi Jambi menjadi terganggu dan cenderung mengalami
penurunan.
"Dengan adanya perubahan iklim yang ekstrim tangkapan nelayan beberapa
bulan terakhir terganggu dan menurun," ujar nelayan di Kabupaten
Tanjungjabung Timur (Tanjabtim), Jambi David (40) di Muarasabak, ibukota
Kabupaten Tanjabtim, Jumat.
David mengatakan, pada bulan Agustus biasanya merupakan saat-saat produksi ikan
laut meningkat. Hal itu karena musim kemarau membuat air di sungai dan danau
surut sehingga memudahkan untuk menangkap ikan.
Memasuki bulan Agustus ini, katanya, kondisi iklim tidak bisa ditebak.
Pada bulan Agustus diperkirakan sudah masuk musim kemarau, namun pada
kenyataannya hujan masih tetap terjadi bahkan dengan kapasitas yang tinggi,
akibatnya kondisi air laut, sungai maupun danau selalu dalam. Belum lagi
kondisi angin dan ombak di laut juga tidak menentu.
Akibatnya, proses penangkapan ikan menjadi terhambat, hal itu berdampak
langsung pada suplai ikan di pasaran menjadi menipis dan gilirannya harga ikan
melambung.
David yang mengaku menjadi nelayan sejak umur 15 tahun itu menyebutkan akibat
kondisi cuaca tidak menentu aktivitas mencari ikan menjadi terganggu akibat
kondisi gelombang laut yang tidak menentu.
Sementara itu, menurut pengakuan beberapa pedagang ikan di pasar Muarasabak,
rata-rata harga ikan di pasaran baik ikan laut maupun ikan tawar mengalami
kenaikan. Harga ikan tawar yang biasanya dijual dengan harga Rp15 ribu per
kilogram, kini bisa mencapai Rp20 ribu per kilogram.
"Ikan gabus ukuran besar harganya mencapai Rp25 ribu per kilo, sebelumnya
Rp20ribu, ikan baung Rp30 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp20 ribu,"
ujar Ida salah seorang pedangan di pasar Selasa, Muarasabak.
Menurut Ida, akibat mahalnya ikan sungai maupun laut, banyak pedagang di
Tanjabtim beralih untuk berjualan ikan hasil budiadaya. Sebab, produksi ikan
hasil budidaya dengan menggunakan sistem keramba tidak terganggu kondisi cuaca.
Selain itu, harganya juga tidak terlalu mengalami lonjakan yang signifikan. Ida
menyebutkan, harga ikan mas hasil budidaya kualitas terbaik hanya Rp20 ribu per
kilogram, kualitas sedang Rp15 ribu per Kg, ikan patin Rp17 ribu per kg,
kualitas sedang Rp15 ribu per kg.
"Sementara untuk ikan nila kualitas baik Rp20 ribu per kg, kualitas sedang
Rp15 ribu per kg, sedangkan ikan bawal sungai hanya Rp15 ribu per kg kualitas
sedang Rp12 ribu per kg," tambah Ida. (*/wij
Green peace
Aktivis
Greenpeace membentangkan spanduk menantang Wilmar International untuk memilih
perlindungan hutan atas kerusakan hutan, dalam konsesi Wilmar. Sektor kelapa
sawit merupakan penyebab terbesar deforestasi di Indonesia, dan sebagian besar
hutan yang dibuka untuk konsesi kelapa sawit di Sumatera dalam kurun 2009-2011
adalah habitat harimau. Sektor perkebunan adalah ancaman utama bagi harimau
Sumatera, gajah dan orangutan. Greenpeace menuntut bahwa Wilmar berhenti
melakukan praktik mencuci minyak sawit kotor ke pasar global dan juga menuntut
merek rumah tangga yang menggunakannya untuk membersihkan dari rantai pasokan
mereka.
Perluasan Lahan Perkebunan Sawit Mengancam Hutan di Jambi
Semenjak adanya program Transmigrasi yang diterapkan
Pemerintah Pusat menyebabkan Hutan di Sumatera dan Kalimantan berkurang.
Habitat satwa liar menghilang digantikan oleh manusia. Dengan dalih
menyejahterakan Masyarakat hutan dan satwa liar nasibnya jadi merana.
Kini, karena kebutuhan untuk
perluasan lahan perkebunan kelapa sawit hutan di Jambi makin terancam.
Kebutuhan kebun sawit yang tidak sedikit menyebabkan hutan-hutan di Jambi makin
berkurang.Seharusnya Pemerintah Daerah di Jambi selaku pihak yang memiliki
kebijakan dalam masalah Tata Kelola menjadi pengontrol dalam hal ini supaya
hutan yang menjadi habitat berbagai jenis satwa termasuk mamalia Besar seperti
Harimau Sumatera(Panthera tigris sumatrae) dan Gajah Sumatera(Elepant maximus)
ini tetap terjaga.
”Satu
sisi sawit bisa dijadikan bahan bakar nabati pengganti minyak fosil. Namun,
dalam kenyataannya, perluasan lahan sawit yang besar-besaran malah merusak
lingkungan. Baik akibat hutan yang dirambah jadi kebun sawit, maupun karena
dampak penggunaan pupuk dan pestisidanya,” kata Rukhayah seusai Workshop
Kesiapan Lokal Menghadapi Perubahan Iklim, Rabu (23/12/2009), di Hotel Ratu,
Jambi.(Kompas.com)
Foto oleh: swaberita.com
Masih menurut Rukhayah, Bukan
hanya hutan yang dirambah, lahan gambut dan lahan sawah pun menjadi sasaran
warga untuk ditanami sawit. Di Jambi, luas kebun sawit kini hampir mencapai
500.000 hektar, atau meningkat 21 persen dari luas kebun sawit pada tahun 2005,
berkisar 403.467 hektar. Luasan lahan itu belum termasuk kebun-kebun rakyat
skala kecil yang belum terdata. Sementara itu, secara nasional, dalam lima
tahun terakhir, luas lahan sawit nasional meningkat dari 6 juta hektar menjadi
7,4 juta hektar pada tahun 2009.
Kemudian, Berdasarkan data Dinas
Kehutanan Jambi, dari luas kawasan hutan Jambi 2,179 juta hektar, seluas 1,121
juta hektar kondisinya kritis. Luas lahan yang kritis di dalam kawasan hutan
mencapai 971.000 hektar dan yang di sekitar hutan mencapai 151.000 hektar.
Jika hal ini terus dibiarkan dan
tidak ada tindakan serius dari pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi dan
Departemen Kehutanan maka Habitat Gajah dan Harimau Sumatera di Jambi dalam
satu dekade kedepan pasti akan hilang dan hanya meninggalkan perkebunan kelapa
sawit. Tak dapat di pungkiri memang, kebutuhan pasar mengenai Minyak Sawit
terus mengalir. Tapi jika hal seperti ini dikelola dengan baik dan dengan
pengawan yang ketat maka Bisnis dan Konservasi akan dapat berjalan dengan baik.
TNKS, HUTAN PENGENDALI PERUBAHAN IKLIM SEMAKIN TERANCAM
Sep 18,
2013
Sungai Penuh-Napaktilasnews.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) berada di 4 (empat) wilayah Administrasi
yaitu ; Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Bengkulu dan Provinsi
Sumatera Selatan, terbentang di Punggungan Bukit Barisan di Pulau Sumatera. TNKS
merupakan salah satu kawasan Konservasi yang ditetapkan sebagai warisan dunia (world
heritage) karena memiliki kelengkapan ekosistem dan keanekaragaman hayati
yang tinggi. Menjadi daerah tangkapan air (catchment area ) dan pengendali perubahan iklim (Control Climate Change) Pulau Sumatera bagian Tengah dan
Selatan.
Sejarahnya, Kawasan ini
merupakan gabungan dari beberapa kawasan seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa,
Taman Wisata, dan Hutan Lindung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor. 901/Kpts-II/1999 memiliki luasan 1.375.389,867 Hektar.
Permasalahan disekeliling
kawasan hutan TNKS rumit dan komplit, mulai dari perambahan, tambang ilegal,
penebangan ilegal, perburuan satwa hingga pembangunan jalan dalam kawasan
hutan.
Hasil investigasi yang
dilakukan oleh Akar Network sepanjang tahun 2012 sampai pertengahan tahun 2013
menunjukan permasalahan yang mengancam kerusakan kawasan TNKS semakin meningkat
dan tidak terkendali. Tercatat kerusakan kawasan TNKS terjadi mulai dari wilayah
Solok Selatan, Kerinci, Merangin, Musirawas, Lebong, hingga Kabupaten Mukomuko.
Barlian Koordinator Akar
Network mengatakan, tingginya tekanan terhadap kelestarian kawasan hutan TNKS
ini antaralain dampak dari lemahnya pengawasan dan tingginya tingkat kerusakan
kawasan hutan penyangga. Disamping itu semakin banyaknya jalur jalan untuk
mengakses kawasan, semakin sulit menahan aktivitas ilegal dan menambah cepatnya
kerusakan.
Karena hal itu,
pengedalian kerusakan kawasan ini harus dilakukan sacara sistematis, terus
menerus dan melibatkan semua pihak. Baik pemerintah pusat, daerah
dan masyarakat. Karena ancaman kerusakan salah satunya dari masayrakat sekitar,
maka upaya penyadaran masyarakat menjadi sangat penting dan menjadi
penetu dalam mempertahankan kelestarian kawasan.
No comments:
Post a Comment