Monday, 3 June 2024

IKLIM

 

 

Perubahan Iklim Ganggu Produksi Ikan di Jambi

Posted on 03 September 2010 

Jambi, (ANTARA) - Perubahan iklim yang ekstrim terjadi belakangan ini menyebabkan produksi ikan segar dan ikan kering di wilayah pantai timur Provinsi Jambi menjadi terganggu dan cenderung mengalami penurunan.

"Dengan adanya perubahan iklim yang ekstrim tangkapan nelayan beberapa bulan terakhir terganggu dan menurun," ujar nelayan di Kabupaten Tanjungjabung Timur (Tanjabtim), Jambi David (40) di Muarasabak, ibukota Kabupaten Tanjabtim, Jumat.

David mengatakan, pada bulan Agustus biasanya merupakan saat-saat produksi ikan laut meningkat. Hal itu karena musim kemarau membuat air di sungai dan danau surut sehingga memudahkan untuk menangkap ikan.

Memasuki bulan Agustus ini, katanya, kondisi iklim tidak bisa ditebak.

Pada bulan Agustus diperkirakan sudah masuk musim kemarau, namun pada kenyataannya hujan masih tetap terjadi bahkan dengan kapasitas yang tinggi, akibatnya kondisi air laut, sungai maupun danau selalu dalam. Belum lagi kondisi angin dan ombak di laut juga tidak menentu.

Akibatnya, proses penangkapan ikan menjadi terhambat, hal itu berdampak langsung pada suplai ikan di pasaran menjadi menipis dan gilirannya harga ikan melambung.

David yang mengaku menjadi nelayan sejak umur 15 tahun itu menyebutkan akibat kondisi cuaca tidak menentu aktivitas mencari ikan menjadi terganggu akibat kondisi gelombang laut yang tidak menentu.

Sementara itu, menurut pengakuan beberapa pedagang ikan di pasar Muarasabak, rata-rata harga ikan di pasaran baik ikan laut maupun ikan tawar mengalami kenaikan. Harga ikan tawar yang biasanya dijual dengan harga Rp15 ribu per kilogram, kini bisa mencapai Rp20 ribu per kilogram.

"Ikan gabus ukuran besar harganya mencapai Rp25 ribu per kilo, sebelumnya Rp20ribu, ikan baung Rp30 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp20 ribu," ujar Ida salah seorang pedangan di pasar Selasa, Muarasabak.

Menurut Ida, akibat mahalnya ikan sungai maupun laut, banyak pedagang di Tanjabtim beralih untuk berjualan ikan hasil budiadaya. Sebab, produksi ikan hasil budidaya dengan menggunakan sistem keramba tidak terganggu kondisi cuaca.

Selain itu, harganya juga tidak terlalu mengalami lonjakan yang signifikan. Ida menyebutkan, harga ikan mas hasil budidaya kualitas terbaik hanya Rp20 ribu per kilogram, kualitas sedang Rp15 ribu per Kg, ikan patin Rp17 ribu per kg, kualitas sedang Rp15 ribu per kg.

"Sementara untuk ikan nila kualitas baik Rp20 ribu per kg, kualitas sedang Rp15 ribu per kg, sedangkan ikan bawal sungai hanya Rp15 ribu per kg kualitas sedang Rp12 ribu per kg," tambah Ida. (*/wij

 

 

 

 

 

 

 

Green peace

Aktivis Greenpeace membentangkan spanduk menantang Wilmar International untuk memilih perlindungan hutan atas kerusakan hutan, dalam konsesi Wilmar. Sektor kelapa sawit merupakan penyebab terbesar deforestasi di Indonesia, dan sebagian besar hutan yang dibuka untuk konsesi kelapa sawit di Sumatera dalam kurun 2009-2011 adalah habitat harimau. Sektor perkebunan adalah ancaman utama bagi harimau Sumatera, gajah dan orangutan. Greenpeace menuntut bahwa Wilmar berhenti melakukan praktik mencuci minyak sawit kotor ke pasar global dan juga menuntut merek rumah tangga yang menggunakannya untuk membersihkan dari rantai pasokan mereka.

 

Perluasan Lahan Perkebunan Sawit Mengancam Hutan di Jambi

POSTED ON 6 JANUARY 2010

Semenjak adanya program Transmigrasi yang diterapkan Pemerintah Pusat menyebabkan Hutan di Sumatera dan Kalimantan berkurang. Habitat satwa liar menghilang digantikan oleh manusia. Dengan dalih menyejahterakan Masyarakat hutan dan satwa liar nasibnya jadi merana.

Kini, karena kebutuhan untuk perluasan lahan perkebunan kelapa sawit hutan di Jambi makin terancam. Kebutuhan kebun sawit yang tidak sedikit menyebabkan hutan-hutan di Jambi makin berkurang.Seharusnya Pemerintah Daerah di Jambi selaku pihak yang memiliki kebijakan dalam masalah Tata Kelola menjadi pengontrol dalam hal ini supaya hutan yang menjadi habitat berbagai jenis satwa termasuk mamalia Besar seperti Harimau Sumatera(Panthera tigris sumatrae) dan Gajah Sumatera(Elepant maximus) ini tetap terjaga.

”Satu sisi sawit bisa dijadikan bahan bakar nabati pengganti minyak fosil. Namun, dalam kenyataannya, perluasan lahan sawit yang besar-besaran malah merusak lingkungan. Baik akibat hutan yang dirambah jadi kebun sawit, maupun karena dampak penggunaan pupuk dan pestisidanya,” kata Rukhayah seusai Workshop Kesiapan Lokal Menghadapi Perubahan Iklim, Rabu (23/12/2009), di Hotel Ratu, Jambi.(Kompas.com)

Foto oleh: swaberita.com

Masih menurut Rukhayah, Bukan hanya hutan yang dirambah, lahan gambut dan lahan sawah pun menjadi sasaran warga untuk ditanami sawit. Di Jambi, luas kebun sawit kini hampir mencapai 500.000 hektar, atau meningkat 21 persen dari luas kebun sawit pada tahun 2005, berkisar 403.467 hektar. Luasan lahan itu belum termasuk kebun-kebun rakyat skala kecil yang belum terdata. Sementara itu, secara nasional, dalam lima tahun terakhir, luas lahan sawit nasional meningkat dari 6 juta hektar menjadi 7,4 juta hektar pada tahun 2009.

Kemudian, Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jambi, dari luas kawasan hutan Jambi 2,179 juta hektar, seluas 1,121 juta hektar kondisinya kritis. Luas lahan yang kritis di dalam kawasan hutan mencapai 971.000 hektar dan yang di sekitar hutan mencapai 151.000 hektar.

Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada tindakan serius dari pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi dan Departemen Kehutanan maka Habitat Gajah dan Harimau Sumatera di Jambi dalam satu dekade kedepan pasti akan hilang dan hanya meninggalkan perkebunan kelapa sawit. Tak dapat di pungkiri memang, kebutuhan pasar mengenai Minyak Sawit terus mengalir. Tapi jika hal seperti ini dikelola dengan baik dan dengan pengawan yang ketat maka Bisnis dan Konservasi akan dapat berjalan dengan baik.

 

TNKS, HUTAN PENGENDALI PERUBAHAN IKLIM SEMAKIN TERANCAM

Sep 18, 2013

Sungai Penuh-Napaktilasnews. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) berada di 4 (empat) wilayah Administrasi yaitu ; Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan, terbentang di Punggungan Bukit Barisan di Pulau Sumatera. TNKS merupakan salah satu kawasan Konservasi yang ditetapkan sebagai warisan dunia (world heritage) karena memiliki kelengkapan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjadi daerah tangkapan air (catchment area ) dan pengendali perubahan iklim (Control Climate Change) Pulau Sumatera bagian Tengah dan Selatan.

Sejarahnya, Kawasan ini merupakan gabungan dari beberapa kawasan seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata, dan Hutan Lindung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor. 901/Kpts-II/1999 memiliki luasan 1.375.389,867 Hektar.

Permasalahan disekeliling kawasan hutan TNKS rumit dan komplit, mulai dari perambahan, tambang ilegal, penebangan ilegal, perburuan satwa hingga pembangunan jalan dalam kawasan hutan.

Hasil investigasi yang dilakukan oleh Akar Network sepanjang tahun 2012 sampai pertengahan tahun 2013 menunjukan permasalahan yang mengancam kerusakan kawasan TNKS semakin meningkat dan tidak terkendali. Tercatat kerusakan kawasan TNKS terjadi mulai dari wilayah Solok Selatan, Kerinci, Merangin, Musirawas, Lebong, hingga Kabupaten Mukomuko.

Barlian Koordinator Akar Network mengatakan, tingginya tekanan terhadap kelestarian kawasan hutan TNKS ini antaralain dampak dari lemahnya pengawasan dan tingginya tingkat kerusakan kawasan hutan penyangga. Disamping itu semakin banyaknya jalur jalan untuk mengakses kawasan, semakin sulit menahan aktivitas ilegal dan menambah cepatnya kerusakan.

Karena hal itu, pengedalian kerusakan kawasan ini harus dilakukan sacara sistematis, terus menerus  dan melibatkan semua pihak. Baik  pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Karena ancaman kerusakan salah satunya dari masayrakat sekitar, maka  upaya penyadaran masyarakat menjadi sangat penting dan menjadi  penetu dalam mempertahankan kelestarian kawasan.

 

No comments:

Post a Comment

© 2012 Segenggam Cahaya | Powered by Blogger | Design by Enny Law - Supported by IDcopy