Saturday 23 March 2019

APLIKASI ILMU STRUKTUR PERKEMBANGAN HEWAN PADA PETERNAKAN SAPI


https://www.instagram.com/noorarif.m

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang
              
Campur tangan pemerintah dalam pengembangan peternakan sapi telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda (Hardjosubroto 2002), yang ditandai dengan pemasukan sapi Ongole ke Pulau Sumba dari Madras, India, pada tahun 1906. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an, pemerintah mengambil kebijakan melaksanakan ‘transmigrasi’ ternak. Ke arah timur, terutama ke Sulawesi Selatan, dipindahkan sapi Bali dalam jumlah cukup besar, ke arah barat ditujukan untuk pengembangan ‘sapi putih’ (PO), sedangkan sapi Madura dikirim ke Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pada tahun 1974/1975, pemerintah mulai melaksanakan program Panca Usaha Ternak Potong (PUTP), dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan produksi daging, dan memperluas kesempatan kerja di pedesaan. Pada tahun 1980an secara besarbesaran dimulailah kebijakan persilangan sapi potong dengan memasukkan berbagai bangsa (breed) sapi, baik yang berasal dari daerah tropis (Brahman) maupun dari daerah subtropis (Simental, Limousine, Santa Gertrudis, Charolais, Angus, Hereford, Shorthorn). Pada awal tahun 1990-an dan berlanjut sampai sekarang, Indonesia mulai melakukan impor sapi bakalan dari Australia untuk digemukkan.

Saat ini rata-rata konsumsi daging sapi penduduk Indonesia masih sangat kecil (< 2 kg/kapita/tahun), jauh di bawah rata-rata konsumsi daging di negara berkembang (5 kg/kapita/tahun) maupun negara maju (25 kg/kapita/hari) (Delgado et al. 1999) Krisis yang terjadi sejak medio 1997 telah mengakibatkan impor sapi bakalan terhenti (berkurang) karena kurang kompetitif (Diwyanto, 2008).  Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibuatlah penerapan ilmu struktur perkembangan hewan dalam meningkatkan hasil peternakan sapi di Indonesia.


1.2.      Batasan Masalah

Penulisan makalah ini dibatasi oleh kurangnya penelitian di lapangan secara langsung karena terbatasnya objek penelitian yakitu hanya melalui sumber jurnal.

1.3.      Tujuan Penelitian

Adalah untuk mengetahui apa sebenarnya aplikasi ilmu struktur perkembangan hewan yang dapat dilakukan pada peternakan sapi.

1.4.      Manfaat Penelitian

Dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang aplikasi ilmu struktur perkembangan hewan pada peternakan sapi.






BAB 2
PEMBAHASAN


2.1.    Inovasi Teknologi Sapi Potong di Indonesia

Untuk dapat mengetahui dan memahami ketersediaan serta perkembangan teknologi untuk mendorong usaha peternakan sapi potong, perlu dilihat perkembangan bioteknologi peternakan. Bioteknologi merupakan suatu integritas berbagai cabang ilmu, antara lain biologi, kimia, genetika, pemuliaan, reproduksi, imunologi, dan komputasi (Pang 1990). Bidang ini sangat kompleks, rumit, mahal, dan perlu waktu yang cukup lama untuk menguasainya. Peralatan dan sumber daya manusia yang menggeluti bidang ini sangat spesial.

Cakupan bioteknologi peternakan meliputi: (1) teknologi reproduksi, seperti IB, TE, kriopreservasi embrio, fertilisasi in vitro (IVM/IVF/IVC = in vitro maturation/ in vitro fertilization/in vitro culture), sexing sperma maupun embrio serta kloning dan splitting; (2) rekayasa genetik seperti genome maps, Marker Assisted Selection (MAS), transgenik, identifikasi genetik, dan konservasi molekuler; (3) pengkayaan pakan, seperti manipulasi mikroba rumen dan perekayasaan pakan; serta (4) bioteknologi yang berkaitan dengan bidang veteriner (Cunningham 1999). Dalam makalah ini yang akan dijelaskan adalah sebagian atau hal-hal yang penting dan berkaitan dengan prospek pengembangan sapi bakalan di Indonesia.

Teknologi IB telah diaplikasikan sangat meluas dan dimulai sejak 60 tahun yang lalu. Secara alami, seekor pejantan hanya mampu melayani 20-30 ekor betina, tetapi dengan teknologi IB kemampuannya meningkat ribuan kali. Teknologi IB dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan program seleksi pada sapi potong, karena akan meningkatkan intensitas seleksi (i). Namun, hal ini akan diimbangi dengan meningkatnya interval generasi (L) karena diperlukan uji zuriat atau progeny testing yang memerlukan waktu cukup lama. Oleh karena itu diperlukan upaya lain agar rasio i/L maksimum sehingga respons seleksi (R) terus meningkat setiap tahun. Dalam jangka panjang, aplikasi IB juga dapat mempengaruhi keragaman sehingga respons seleksi mengalami pelandaian (plateau). Sementara itu, bila tidak didukung dengan pencatatan yang baik, peluang akan terjadi silang dalam (inbreeding) sangat besar.

Aplikasi IB di Indonesia sudah sangat meluas, terutama pada sapi perah (> 90%) dan sapi potong. Secara intensif IB pada sapi perah mulai dilakukan pada tahun 1972 oleh Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor (Sitorus 1973). Sementara itu, IB pada sapi potong di Indonesia saat ini mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Hal ini antara lain karena langkanya pejantan di beberapa kawasan sentra produksi sapi (Jawa). Di beberapa negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong hanya terbatas pada kelompok elit untuk tujuan menghasilkan bibit (pemuliaan).

Penyempurnaan kegiatan IB di Indonesia yang saat ini sedang dan akan dilakukan harus dikerjakan terutama dalam aspek pemilihan pejantan, menghindari terjadinya depresi akibat inbreeding serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan IB itu sendiri, seperti kualitas sperma, kualitas resipien, ketepatan deteksi estrus, dan keterampilan inseminator.

Saat ini telah dilakukan penelitian di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) penggunaan cryoprotectant tertentu dalam pembuatan semen cair sehingga semen tidak perlu lagi disimpan dalam tangki nitrogen cair, tetapi cukup di dalam refrigerator (suhu 5oC). Teknik ini mampu menyimpan semen dalam waktu relatif lama (5-7 hari) dengan kualitas yang tetap baik untuk diinseminasikan pada betina estrus. Pada prinsipnya, semen dibuat seperti hewan yang hibernasi pada waktu musim dingin dan akan aktif kembali setelah berada pada saluran reproduksi betina.

Keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah berhasil dengan baik (Setiadi et al. 1997; Siregar et al. 1997). Salah satu kunci keberhasilan IB adalah sapi dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam mendeteksi berahi dan melaksanakan IB. Namun, secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alami.

Keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporan yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB praktis belum banyak dievaluasi. Oleh karena itu, pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta memperhatikan interaksi genetik dan lingkungan. Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada peternakan cow-calf operation maka penggunaan pejantan yang berukuran besar (misalnya Simental dan Limousin) hanya dapat dilakukan pada daerah yang ketersediaan pakannya memadai (Diwyanto et al. 1999).

Bila sekarang kita menengok pada teknologi TE maka dapat diketahui bahwa keberhasilan TE pertama kali dilaporkan pada kelinci tahun 1891 di Inggris dan pada domba pada tahun 1934 (Warwick et al. 1934); pada sapi, kerbau dan babi pada tahun 1951 (Willet et al. 1951; Kvasnickii 1951), dan pada kuda tahun 1974 (Oguri dan Tsunami 1974). Transfer embrio pada mulanya digunakan dalam perdagangan. ternak, terutama yang pada waktu itu dilindungi, seperti ekspor embrio sapi yang disimpan dalam alat reproduksi kelinci dari Eropa ke Afrika Selatan. Saat ini perdagangan embrio sudah sangat meluas, melalui penjualan embrio beku yang disimpan dalam nitrogen cair.

Teknologi TE sudah sangat luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir (Cunningham 1999), antara lain dengan pelaksanaan Multiple Ovulation and Embryo Transfer (MOET) seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Australia, dan negara maju lainnya. Tujuannya adalah untuk menghasilkan anak (embrio) yang banyak dalam satu kali siklus. Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya 5 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan. Karena itu, seekor sapi (donor) secara teoritis dapat menghasilkan 20-50 embrio/ tahun (dalam keadaan normal seekor sapi hanya mampu menghasilkan seekor anak per tahun).

Aplikasi TE biasanya dilakukan pada sapi perah untuk memperbaiki mutu genetik, yaitu dengan meningkatkan intensitas seleksi (i) pada galur induk. Namun, ada kerugian yang ditimbulkan, yaitu interval generasi (L) induk juga akan meningkat. Untuk tujuan perbanyakan ternak yang berkualitas, teknologi MOET akan sangat efektif karena yang diperbaiki adalah hewannya (diploid), bukan sekedar upgrading (haploid) seperti pada teknologi IB. Oleh karena itu, teknologi TE dapat dipandang sebagai upaya mengganti ternak yang ada dengan populasi baru (breed replacement). Pada tahun 1997, aplikasi TE di dunia sudah mencapai sekitar 460 ribu embrio (Thibier 1998) dan di India aplikasi TE pada kerbau perah mencapai sekitar 1.000 embrio (Cunningham 1999).

Koleksi dan transfer embrio saat ini sudah dapat dilakukan dengan cara nonoperasi, sehingga akan memudahkan pelaksanaannya di samping biayanya lebih ekonomis. Keberhasilan transfer embrio segar dapat mencapai 55-65%, sedangkan embrio beku 50-60% (Hasler 1995). Teknik ini akan mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai 10% (Lohius1995), yang jauh di atas metode konvensional yang hanya sekitar 2-5%. Namun, seperti halnya teknologi IB, aplikasi TE dalam program pemuliaan akan mengakibatkan penurunan keragaman dalam suatu populasi yang tertutup sehingga respons seleksi lama-kelamaan akan mengalami pelandaian yang signifikan.

Aplikasi TE di Indonesia telah dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Keberhasilan teknologi TE di Indonesia sangat beragam dan dampaknya terhadap perkembangan dan peningkatan produktivitas ternak sangat minimal. Program untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi TE belum terfokus dengan baik, padahal teknologi ini merupakan salah satu wahana yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas ternak, terutama sapi perah.

Salah satu program yang dikembangkan di Balitnak bekerja sama dengan University of Wisconsin, USA, adalah upaya membentuk sapi perah hibrida (Triwulanningsih et al. 2002). Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa program upgrading sapi lokal dengan IB di negara berkembang kurang berhasil dengan baik (Rutledge 1995), sehingga diperlukan suatu terobosan dengan memanfaatkan teknologi IVM/IVF/IVC dan TE. Pada penelitian tersebut digunakan semen sapi dari beberapa bangsa, seperti FH, Brahman maupun Bali dan sel telur dari sapi perah di negara. bagian Wisconsin yang difertilisasi dan dikultur secara in vitro. Kemudian blastosist yang bagus dibekukan lalu dibawa kembali ke Indonesia dan selanjutnya ditransfer pada resipien di Indonesia. Diharapkan anak sapi hasil persilangan ini akan menjadi sapi perah yang dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis, tetapi mempunyai fertilitas yang tinggi serta mampu memproduksi susu yang jauh lebih tinggi dari sapi lokal Indonesia karena sapi F1 ini mempunyai hybrid vigour yang tinggi.

Namun demikian, pendekatan tersebut di atas mempunyai beberapa kelemahan, antara lain mutu genetik sel telur yang digunakan tidak diketahui dengan pasti. Di samping itu, pembuatan ternak hibrida menimbulkan ketergantungan pada pasokan sel telur dari luar negeri. Teknik ini justru dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ternak murni (elite group), misalnya sapi Simental murni, guna mendukung program pemuliaan dan IB, atau menyediakan pejantan dalam cow-calf operation untuk menghasilkan sapi bakalan. Apabila kerja sama dengan institusi di luar negeri dapat dibina, tidak mustahil akan dapat diproduksi embrio dengan mutu genetik yang baik dengan harga yang relatif sangat murah, yaitu sekitar US $ 5-10.

Teknologi ET merupakan suatu alat untuk memperbaiki produktivitas ternak. Oleh karena itu, aplikasinya perlu mempertimbangkan aspek kemudahan dan efisiensi ekonomi. Dalam jangka pendek, teknologi ini hanya cocok untuk dikembangkan dalam rangka membuat kelompok elit untuk tujuan pemuliaan, bukan untuk tujuan produksi massal. Pengembangan teknologi TE secara meluas saat ini justru kurang bermanfaat karena prakondisi yang diperlukan masih belum memungkinkan.

Pada tahun 1952 untuk pertama kalinya dilaporkan keberhasilan teknologi splitting pada katak dan pada tahun 1980-an pada domba (Willadsen 1986; Cunningham 1999). Saat ini pembelahan embrio secara fisik telah dapat menghasilkan kembar identik pada domba, sapi, babi, dan kuda (Brem 1995). Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan beberapa kali, sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat rendah.

Teknik pembelahan embrio di masa depan mempunyai prospek yang sangat baik, terutama pada ternak yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah). Namun perlu dilakukan penyempurnaan agar tingkat keberhasilannya lebih baik serta aplikasinya lebih mudah dan murah. Saat ini perkembangan teknologi pembelahan embrio di Indonesia masih sangat terbatas, baik dalam arti jumlah kegiatan maupun tingkat keberhasilannya.

Pada tahun 1996 telah dilaporkan keberhasilan kloning domba yang berasal dari sel somatik jaringan kelenjar susu. Selanjutnya kloning pada tikus yang berasal dari sel kumulus sel telur pada stadium metafase II juga telah berhasil. Juga keberhasilan kelahiran delapan ekor pedet hasil kloning sel epitel jaringan reproduksi sapi betina dewasa (Campbell et al. 1996; Wilmut et al. 1997; Kato et al.1998; Wakayama et al.1998). Keberhasilan teknologi ini akan memberi peluang yang besar terhadap kemajuan iptek peternakan di masa yang akan datang. Splitting maupun kloning juga akan sangat bermanfaat dalam membantu program konservasi secara in vitro (cryogenic preservation). Namun, upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai manfaat ekonomis masih perlu dikaji, di samping masalah lain yang berkaitan dengan etika dan sosial.

Bioteknologi peternakan yang saat ini banyak ditekuni para ahli adalah teknologi sexing, baik pada embrio maupun sperma. Sexing embrio dapat dilakukan dengan mengekstraksi satu sel/blastomer dari morula dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Morula tersebut kemudian dikultur kembali sampai menjadi blastosist. Dengan menggunakan metode ini kebenarannya dapat mencapai 99% seperti yang dilaporkan oleh Kirkpatrick dan Monson (1993) di mana telah di-sexing 40 in vitro biopsied embryos lalu dikultur kembali kemudian 18 embrio yang telah dibiopsi ditransfer pada resipien dan 12 ekor telah berhasil bunting.

Peneliti yang lain telah melakukan pemisahan spermatozoa yang mengandung kromosom X dan Y dengan cara sedimentasi, sentrifugasi, elektroforesis, dan penggunaan antigen. Namun, ternyata belum efektif karena spermatozoa yang telah mengalami proses demikian kemampuannya untuk memfertilisasi sel telur menjadi menurun (Diwyanto et al. 1999). Sementara itu bila sexing dilakukan dengan flow cytometry akan menghasilkan 92% betina dan 8% jantan (Stern et al. 2001). Susilawati et al. (1997) telah melakukan pemisahan spermatozoa pada sapi dengan menggunakan sephadex G-200 dan mendapatkan kelahiran pedet betina 82,5% dari 40 ekor pedet yang dilahirkan.

Perbedaan fenotipe individu direfleksikan oleh perbedaan gen yang terdapat dalam individu tersebut. Sebuah gen merupakan satu rantai DNA yang mengkode satu protein tertentu dan membawa sifat tertentu dari individu. Beberapa gen yang sederhana mempunyai pengaruh langsung terhadap fenotipe ternak, seperti gen yang menentukan warna bulu, tipe telinga, bentuk tanduk, dan kualitas daging. Metode seleksi dengan memanfaatkan teknologi MAS untuk menentukan posisi suatu gen yang terletak dekat dengan gen-gen yang mempengaruhi sifat produksi (Quantitative Trait Loci = QTL) telah mulai banyak dikembangkan (Muladno 1994). Namun, untuk fenotipe produksi susu sampai saat ini masih sangat sulit untuk mengidentifikasi gen tunggal yang signifikan berperan di dalamnya, karena diduga banyak gen yang berinteraksi mempengaruhinya (Sumantri et al. 2001).

Saat ini peneliti dari Puslitbangnak bersama peneliti dari Australia dan LIPI sedang melakukan penelitian gen penciri yang dapat mendeteksi gen yang resisten terhadap infeksi Fasciola gigantica dan cacing Haemonchus contortus pada domba ekor tipis. Seperti penelitian pada ayam, analisis juga memerlukan reference family; misalnya untuk gen resisten terhadap cacing hati perlu dikaji back cross dengan domba Merino yang bersifat sensitif dan domba Jawa/Sumatera yang bersifat resisten. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk meningkatkan mutu genetik sapi yang saat ini menghadapi masalah serupa yang cukup serius.

Teknologi transgenik pada ternak saat ini masih dipandang cukup kontroversial. Pada mamalia umumnya transfer gen dilakukan dengan injeksi langsung DNA lain ke dalam nukleus pada saat stadium embrionik. Transfer gen dilakukan pada ternak sejak pertama kali keberhasilannya tahun 1985, dan selanjutnya lebih dari 50 gen yang berbeda telah dimasukkan dalam embrio ternak. Karena terlalu banyak tahap yang harus dilalui maka keberhasilannya sangat rendah, umumnya hanya 1%.

2.2.   Penerapan Teknologi Penyerentakan Berahi Pada Sapi

Berdasarkan penelitian terhadap induksi pembentukan kantong dan pertumbuhan dua jenis Nepenthes yaitu Nepenthes ampullaria dan Nepenthes mirabilis dengan berbagai konsentrasi media MS yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa jenis Nepenthes memberikan pengaruh terhadap jumlah daun, jumlah kantong dan tinggi tanaman pada media in vitro. Selain jenis Nepenthes, berbagai konsentrasi media MS juga mempengaruhi beberapa variabel di antaranya adalah jumlah daun dan jumlah kantong yang terbentuk, namun tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh konsentrasi media MS. Jumlah daun N. mirabilis lebih banyak dibandingkan dengan N. ampullaria sebaliknya jumlah kantong N. ampullaria lebih banyak dibandingkan N. mirabilis. Semua konsentrasi media yang digunakan mampu menginduksi pembentukan kantong secara in vitro. Jumlah kantong tertinggi dihasilkan oleh media 0,0625 MS yaitu sebesar 6.

Dasar fisiologis dari penyerentakan berahi adalah hambatan pelepasan Luteinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum baik secara manual atau secara fisiologis dengan pemberian preparat hormon luteolitik. Karena progesteron dapat menghambat pelepasan LH, pertumbuhan folikel, berahi, dan ovulasi maka progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk penyerentakan berahi (TOELIHERE, 1981).

Teknik penyerentakan berahi yang sudah dicobakan pada ternak sapi antara lain penyingkiran corpus luteum (CL), penyuntikan hormon gonado-trophin, penggunaan hormon progesteron, penyuntik-an hormon estrogen, kombinasi progesteron dengan estrogen dan penyuntikan prostaglandin F2α (PGF2α).

Penyingkiran corpus luteum
Penyingkiran atau enukleasi CL merupakan cara yang paling tua dilakukan pada sapi dan kerbau. Melalui palpasi rektal, CL disingkirkan dari ovarium dan dijatuhkan ke dalam rongga perut. Kelemahan dari metode ini, apabila CL yang telah lepas dari ovarium tertinggal dalam bursa ovarii bisa me-nyebabkan adhesio pada ovarium yang nantinya bisa menyebabkan kemajiran yang permanen. Bila CL telah tersingkir, hambatan progesteron terhadap pe-lepasan hormon-hormon gonadotrophin tidak terjadi lagi sehingga terjadi pertumbuhan folikel, berahi, dan ovulasi.

Metode pengendalian berahi dengan cara penyingkiran CL menyebabkan berahi dan ovulasi dalam waktu tiga sampai lima hari dengan rataan dua sampai tujuh hari. Hasil penyingkiran CL terhadap sapi yang mengalami anestrus di daerah Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat menunjukkan 71,4% sapi berahi dan positif bunting pada IB pertama dan 14,3% positif bunting pada IB kedua (HERDIS, 1990).

Penyingkiran CL merupakan metode yang paling praktis dan ekonomis. Namun demikian sedapat mungkin dihindarkan, karena pada keadaan pyometra atau penyakit-penyakit lain akan dapat menyebabkan terjadinya adhesio atau pembarahan corpus luteum (SUARDI, 1989).

Penggunaan hormon gonadotrophin
Metode ini dilakukan untuk merangsang pertumbuhan folikel sehingga timbul keadaan berahi dan ovulasi. Berbeda dengan enukleasi CL di mana gonadotrophin disintetis dalam hewan itu sendiri, maka cara kedua ini, gonadotrophin dimasukkan dari luar. WOLFENSON et al. (1994) telah melaporkan teknik penyerentakan berahi dengan menggunakan GnRH analog (buserelin) 8 μg dan PGF2α sebanyak 25 mg pada hari ke tujuh setelah pemberian buserelin. Pada penelitian ini diperoleh hasil, berahi timbul 2,6 ± 4 hari setelah pemberian PGF2α.

Pemakaian Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) telah digunakan untuk sapi penderita anestrus yang disebabkan oleh hipofungsi ovarium, 55% sapi mengalami kesembuhan setelah pemberian PMSG dengan dosis 1.500 sampai 2.000 dosis (SUARDI, 1989).

Menurut TWAGIRAMUNGU et al. (1992) pemberian dua injeksi buserelin pada hari ke-0 sebanyak 8 μg dan hari ke-3 sebanyak 4 μg yang diikuti pemberian PGF2α pada hari keenam, memberi pengaruh mening-katkan ketajaman tanda-tanda berahi setelah lutelisis oleh PGF2α, tetapi tidak mempengaruhi CR. Pe-manfaatan hormon gonadotrophin telah digunakan untuk melihat pengaruh pembatasan energi pada respon penyerentakan berahi setelah beranak pada sapi Charolais dengan memberikan Norgestoment implant (Crestar ND) dan 600 IU PMSG (Cronogest PMSG ND). Hasil penelitian memperlihatkan tidak ada pengaruh pembatasan sumber energi antara kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi standar (100%) dan kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi yang dikurangi (70%). Semua sapi menunjukkan puncak LH dan ovulasi setelah perlakuan yang diperlihatkan oleh puncak konsentrasi progesteron 10 hari setelah IB dan hanya satu ekor sapi dari masing-masing kelompok yang tidak bunting setelah diuji oleh PSPB RIA 35 hari setelah IB (GRIMARD et al., 1994).

Penggunaan hormon progesteron
Prinsip dari metode ini adalah menghambat sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteonizing Hormone (LH) dari adenohipofisis sehingga menghambat pematangan folikel de Graaf dan ovulasi sel telur. Pemberian progesteron akan merubah fungsi ovarium dan dalam dosis yang cukup dapat menghambat ovulasi. Untuk penyerentakan berahi biasanya dipakai progesteron atau preparat-preparat progesteron misalnya 6-Methyl-17-Acetoxy Progesterone (MAP); 6-Chloro-6-didydro-17-Acetoxy Progesterone (CAP) dan Dihydroxy Progesterone Acetophenide (DHPA) (TOELIHERE, 1985).

Beberapa penelitian menunjukkan pemberian hormon progesteron pada sapi secara berulang dapat mengendalikan terjadinya berahi dan ovulasi. Hormon progesteron merupakan hambatan terhadap pem-bebasan hormon gonadotrophin yang menyebabkan hewan tetap berada dalam keadaan anestrus karena tidak terjadi pertumbuhan folikel. Penggunaan progesteron dalam penyerentakan berahi pertama kali dilaporkan oleh ULBERG pada tahun 1951, pemberian 50 sampai 100 mg progresteron (P4) setiap hari dari hari ke-15 sampai ke-19 siklus berahi akan menyebabkan berahi setelah 4,6 hari penghentian penyuntikan. Pemberian P4 tidak selalu memberikan respon yang seragam pada setiap individu ternak. Keadaan ini terjadi karena perbedaan individual dalam penyerapan hormon tersebut dan kadar penghambatan dan pemulihan kembali setelah persediaan hormon di dalam tubuh habis (TOELIHERE, 1981).

Penggunaan hormon progesteron selama sembilan hari mampu menimbulkan laju kebuntingan 40% pada sistem peternakan rakyat yang tradisional dan ekstensif di daerah Lampung (MELASARI, 1998). Penggunaan progesteron dalam penyerentakan berahi akan lebih efektif apabila ternak memiliki CL. Keberadaan progesteron yang dihasilkan CL memberi-kan respon berahi dan laju kebuntingan yang lebih baik dibandingkan tanpa kehadiran CL (SOLIHATI, 1998).

Penggunaan Control Internal Drug Release (CIDR) untuk penyerentakan berahi telah banyak dilakukan baik pada sapi maupun ruminansia kecil. Sebuah perusahaan swasta New Zealand “InterAG” sejak tahun 1980 telah mengembangkan “EAZI BREED CIDR” yang mengandung 1,9 g progesteron. Progesteron akan dilepas secara difusi dari karet silikon yang dibentuk menyerupai huruf “T” yang diaplikasikan secara intra vagina dengan meng-gunakan aplikator. Untuk sapi dara, penyerentakan berahi dilakukan dengan cara pemberian “EAZI BREED CIDR“ dan kapsul “CIDIROL“ (mengandung 10 mg oestradiol benzoat) selama 10 hari. Respon berahi yang dihasilkan mencapai lebih dari 90% dengan laju kebuntingan sebesar 65% (INTERAG, 1996).

Untuk sapi laktasi, “EAZI BREED CIDR” ditambah kapsul “CIDIROL” diberikan selama tujuh hari sedangkan prostaglandin diberikan pada hari ke-6. Deteksi berahi dilakukan dari hari ke-2 sampai hari ke-4 setelah CIDR dilepas. Respon berahi yang dihasilkan mencapai lebih dari 90% dengan laju kebuntingan antara 50–55%.

Program untuk sapi tipe pedaging sama dengan sapi laktasi tapi pada hari kedelapan diberi 2 ml “CIDIROL” yang mengandung 0,5 mg/ml estradiol benzoat. IB dilakukan pada hari ke-48 sampai 52 setelah pengambilan CIDR. Respon berahi lebih dari 90% dengan laju kebuntingan sekitar 60% (INTERAG, 1996).

MACMILLAN et al. (1991) melaporkan pemasukan CIDR yang mengandung P4 pada hari pertama dari siklus berahi dan dikeluarkan pada hari ke-4, 60% dari sapi-sapi yang mendapat perlakuan, siklus berahinya dipersingkat 7-9 hari. Sementara itu, pemasukan CIDR pada pertengahan siklus (hari ke-9 sampai hari ke-12) selama empat hari tidak merubah interval antara berahi.

Selain dalam bentuk CIDR, progesteron dapat diberikan dalam bentuk Progesterone Releasing Intravagina Devices (PRID). BROADBENT et al. (1993) membandingkan penggunaan CIDR dan PRID pada sapi dara. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya berahi setelah pengambilan CIDR nyata lebih pendek dibandingkan PRID (50,44 vs 55,50 jam) sedangkan Sinkronisasi Rate antara CIDR dan PRID tidak berbeda nyata (74,0% vs 70,4% ). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa CIDR cocok untuk penyerentakan berahi sapi penerima dalam program transfer embrio.

LARSON dan BALL (1992) mengemukakan bahwa kombinasi progesteron dan estrogen telah banyak 3 progesteron bersamaan dengan estrogen pada sapi menghasilkan pemunculan gelombang folikel baru, tiga sampai lima hari kemudian (BO et al., 1990). “Synchro-Mate B” (CEVA Laboratorium, Overland Park, KS) merupakan produk komersial yang telah diakui untuk penyerentakan berahi pada sapi perah, sapi dara, dan sapi potong setelah beranak (LARSON dan BALL, 1992).

Menurut SOLIHATI (1998) penyerentakan berahi pada sapi perah FH dengan menggunakan progesteron intravaginal bersamaan dengan estrogen dan injeksi 15 mg PGF2α secara intra muskuler (IM) memberikan respon berahi (90%) dan laju kebuntingan (77,8%).

Pelaksanaan penyerentakan berahi yang dilakukan oleh BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI dan PRANCE EMBRYON GENETIQUE ELEVAGE (PEGE) (1996) dengan menggunakan implant subkutaneus Crestar (Norgestomet yang mengandung 3,3 mg P4 dan 3 mg Estradiol) selama sembilan hari dengan perlakuan PMSG hari ke-9 pada 30 ekor sapi dara, diperoleh hasil 22 ekor timbul berahi setelah 2-3 hari. LARSON dan BALL (1992) melaporkan tidak terdapat perbedaan antara peng-gunaan implant subkutaneus P4 yang dikombinasikan dengan estradiol (Crestar, Intervet UK) pada sapi dara selama sembilan hari dibandingkan dengan perlakuan PGF2α (7,5 mg luprostiol, Prosolvin, Intervet) yang diberikan berselang 11 hari. Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata kombinasi antara hormon estrogen dan progesteron merupakan metode penyerentakan berahi yang cukup efektif untuk ternak sapi.

Penyuntikan hormon estrogen
Penyuntikan hormon estrogen biasanya digunakan pada ternak yang mengalami hipofungsi ovarium. Ovalumon merupakan produk komersial estrogen yang dipasarkan dengan kemasan 30 ml mengandung 600.000 IU etinil estradiol. Penyuntikan hormon estrogen hanya dapat menyebabkan terlihatnya gejala berahi tetapi tidak akan menyebabkan terjadinya ovulasi (SUWARDI, 1989). Penggunaan estrogen diharapkan akan meregresikan folikel dominan sehingga muncul folikel dominan dari gelombang berikutnya yang menghasilkan oosit berkualitas baik untuk meningkatkan fertilitas (BO et al., 1994). Biasanya untuk penyerentakan berahi estrogen diberikan bersama progesteron dan PGF2α.

Pada sapi potong pemberian estrogen dan progesteron selama sembilan hari menimbulkan respon berahi 85,70% dengan angka kebuntingan 50% (MELASARI, 1998). Pengunaan estrogen dan progesteron intravaginal dan injeksi 15 mg PGF2α secara intra muskuler pada sapi perah memberikan respon berahi 90% dan angka kebuntingan 77,8% (SOLIHATI, 1998).

Penyuntikan prostaglandin F2α
Prostaglandin F2α sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan dipakai untuk menggertak berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis ternak. Penggunaan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada ternak sapi telah dilaporkan pertama kali oleh ROWSON pada tahun 1972 (TOELIHERE, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya hambatan dari progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin hilang, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang dilisis adalah CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa dilakukan kalau CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus. Agar semua hewan bisa berahi dalam priode waktu yang hampir bersamaan dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama.

Kemungkinan lain tidak beresponnya ternak terhadap PGF2α adalah ternak tersebut mengalami hipofungsi ovarium atau karena berahi yang terlalu pendek. Adanya ambang optimal reseptor PGF2α di dalam CL yang meningkat akibat penyuntikan suatu hormon yang terlampau sering, menyebabkan tingkat kepekaan ternak menurun dan akibatnya pengaruh yang diharapkan gagal diekspresikan (TOELIHERE, 1981).

Hasil penyerentakan berahi dengan menggunakan PGF2α secara intra muskuler satu kali pada fase luteal atau dua kali berselang sebelas hari tanpa melihat siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75%-100% (MACMILAN et al., 1991).

Dosis PGF2α untuk sapi 5-10 mg per ekor melalui intra uterus dan 30–35 mg melalui intra muskuler. Bila dibandingkan dengan metode lain, hasil penyerentakan berahi dengan PGF2α cukup baik dengan laju kebuntingan mencapai 70% (SUWARDI, 1989 ).

Kecepatan timbulnya berahi setelah penyuntikan PGF2α secara intra muskuler pada sapi Bali bervariasi antara 58,18 jam (ISMUDIONO, 1982); 67,84 ± 21,16 jam (BELLI, 1990) sedangkan secara intra uterin adalah 70,40 ± 18,40 jam (BELLI, 1990). Beberapa peneliti telah menggunakan kombinasi Melengestrol Acetate (MGA) dan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada sapi pedaging. Menurut JAEGER (1992) metode penyerentakan berahi kombinasi MGA lewat pakan selama 14 hari dengan injeksi prostaglandin 17 hari setelah selesai MGA, efektif untuk penyerentakan berahi pada sapi dara tipe pedaging dan fertilitas yang dihasilkan tidak berbeda dengan ternak sapi dara kontrol.

MAUCK (1994) membandingkan dua sistem MGA-PGF2α untuk penyerentakan berahi pada sapi dara tipe pedaging. Kelompok pertama diberi pakan yang mengandung 0,5 mg MGA/ekor/hari selama 14 hari, selanjutnya 17 hari kemudian diberi 25 mg PGF2α secara intra muskuler. Kelompok kedua diberi 0,5 mg MGA/ekor/hari selama 7 hari dan 25 mg PGF2α secara intra muskuler pada hari terakhir pemberian MGA. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh bahwa perlakuan pertama (14-MGA) memberikan respon berahi dan fertilitas lebih tinggi dibandingkan perlakuan kedua (7-MGA).

KING (1994) dalam penelitian penyerentakan berahi dengan metode 14 hari MGA-prostaglandin (0,5 mgMGA/hari/ekor ditambah 25 mg PGF2α setelah 17 hari selesai pemberian MGA) menyimpul-kan bahwa waktu inseminasi 72 jam setelah pemberian prostaglandin memberikan laju kebuntingan yang sama dengan inseminasi yang dilakukan pada 12-18 jam setelah timbulnya berahi alamiah dengan derajad berahi yang lebih tinggi pada berahi hasil penyerentakan berahi.
















BAB 3
KESIMPULAN


1.   Indonesia memiliki banyak tanaman kantung semar yang endemik
2.   Kemampuan kantung semar termasuk kemampuan yang unik sebagai tanaman yang hidup di tempat yang miskin unsur hara.
3.   Penelitian lebih lanjut tentang ketermanfaatan senyawa yang dihasilkan kantung semar belum dilakukan.















DAFTAR PUSTAKA

Bhattacharyya, B dan B.M. Jahri. 1998. Flowering Plants Taxonomy and Phylogeny. New Delhi: Narosa Publishing House.
Clarke C. 1997. Nepenthes of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinibalu.
Clarke C. 2001. Nepenthes of Sumatera and Peninsular Malaysia. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinibalu
Ellison AM dan Gotelli NJ. 2001. Evolutionary ecology of carnivorous plants. Trends in Ecol. and Evol. 16 (11): 623 – 629
Gibbs, R.D. 1950. Botany, An Evalutionary Approach. Toronto: The Blakiston Company.
Handoyo, F. dan M. Sitanggang, 2006. Petunjuk Praktis Perawatan Nepenthes. Agromedia Pustaka. Jakarta. 66 p.
Hariyadi. 2013. Inventarisasi Tumbuhan Kantung Semar (Nephentes spp.) di Lahan Gambut Bukit Rawi, Kalimantan Tengah. Palangka Raya: Universitas Terbuka Palangka Raya. [Vol. 6, No. 1]
Harsono T dan Chandra RH. 2005. Biodiversity suku Nepentheaceae di Pulai Poncan, Aek Nauli, dan Gunung Sinabung. J. Ilmiah Pendidikan. 9(6): 686 – 699
Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan Sejarah Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallacea.
Leach, C.G. 1940. Insect Transmition of Plant Disease. New York: Mc Grow Hill Book Company.
Lloyd, F.E. 1942. The Carnivoruos Plant. New York: The Rolland Press Company
Mansur M. 2006. Data 64 Jenis Kantung semar (nepenthes) yang tercatat Hidup di Indonesia. Jakarta.
Mansur M. 2008. Penelitian ekologi Nepenthes di laboratorium alam hutan gambut Sabangau Kereng Bangkirai Kalimantan Tengah. J. Tek. Ling. 9 (1): 67-73.
Mithofer A. 2011. Carnivorous pitcher plants: Insights in an old topic. Phytochem. 72 (13): 1678–1682.
Mulyanto, H., Cahyuningdari D. dan Setyawan A. D. 2000. Kantung Semar (Nephenthes sp.) di Lereng Gunung Merbabu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS. [Vol. 1, No.2]
Owen TP, Lennon KA, Santo MJ dan Anderson AM. 1999. Pathways for nutrient transport in the pitcher plant Nepenthes alata. Ann. Bot. 89(4): 459-466
Rischer H, Hamm A dan Bringmann G. 2002. Nepenthes insignis uses a C2- portion of the carbon skeleton of lalanine acquired via its carnivorous organs, to build up the allelochemical plumbagin. Phytochem. 59(6): 603-609
Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Wang, L., Q. Zhou, Y. Zheng and S. Xu. 2009. Composite structure and properties of the pitcher surface of the carnivorous plant Nepenthes and its influence on the insect attachment system. Prog. in Nat. Sci. 19 (12): 1657 – 1664
Wardani W, Simbolon W dan Dirman. 2005. Inventarisasi tumbuhan di lahan gambut Kalampangan Kalimantan Tengah. Lap. Tek. Bidang Botani. Pusat Penelitian Biologi LIPI, hlm. 204-211
Yelli, Fitri. 2013. Induksi Pembentukan Kantong dan Pertumbuhan Dua Spesies Tanaman Kantong Semar (Nephentes spp.) Pada Berbagai Konsentrasi Media MS Secara In Vitro. Bandar Lampung: Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. [Jurnal Agrotropika 18(2) 56-62]

No comments:

Post a Comment

© 2012 Segenggam Cahaya | Powered by Blogger | Design by Enny Law - Supported by IDcopy