https://www.instagram.com/noorarif.m
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Campur tangan pemerintah dalam pengembangan peternakan sapi telah
dimulai sejak zaman Hindia Belanda (Hardjosubroto 2002), yang ditandai dengan
pemasukan sapi Ongole ke Pulau Sumba dari Madras, India, pada tahun 1906. Selanjutnya
pada awal tahun 1970-an, pemerintah mengambil kebijakan melaksanakan ‘transmigrasi’
ternak. Ke arah timur, terutama ke Sulawesi Selatan, dipindahkan sapi Bali
dalam jumlah cukup besar, ke arah barat ditujukan untuk pengembangan ‘sapi
putih’ (PO), sedangkan sapi Madura dikirim ke Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. Pada tahun 1974/1975, pemerintah mulai melaksanakan program Panca Usaha
Ternak Potong (PUTP), dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan
produksi daging, dan memperluas kesempatan kerja di pedesaan. Pada tahun 1980an
secara besarbesaran dimulailah kebijakan persilangan sapi potong dengan
memasukkan berbagai bangsa (breed) sapi, baik yang berasal dari daerah tropis
(Brahman) maupun dari daerah subtropis (Simental, Limousine, Santa Gertrudis,
Charolais, Angus, Hereford, Shorthorn). Pada awal tahun 1990-an dan berlanjut sampai
sekarang, Indonesia mulai melakukan impor sapi bakalan dari Australia untuk digemukkan.
Saat ini rata-rata konsumsi daging sapi penduduk Indonesia masih
sangat kecil (< 2 kg/kapita/tahun), jauh di bawah rata-rata konsumsi daging
di negara berkembang (5 kg/kapita/tahun) maupun negara maju (25 kg/kapita/hari)
(Delgado et al. 1999) Krisis yang terjadi sejak medio 1997 telah mengakibatkan
impor sapi bakalan terhenti (berkurang) karena kurang kompetitif (Diwyanto,
2008). Berdasarkan permasalahan
tersebut, maka dibuatlah penerapan ilmu struktur perkembangan hewan dalam
meningkatkan hasil peternakan sapi di Indonesia.
1.2.
Batasan
Masalah
Penulisan makalah ini
dibatasi oleh kurangnya penelitian di lapangan secara langsung karena
terbatasnya objek penelitian yakitu hanya melalui sumber jurnal.
1.3.
Tujuan
Penelitian
Adalah untuk mengetahui
apa sebenarnya aplikasi ilmu struktur perkembangan hewan yang dapat dilakukan
pada peternakan sapi.
1.4.
Manfaat
Penelitian
Dapat memberikan informasi
lebih lanjut tentang aplikasi ilmu struktur perkembangan hewan pada peternakan
sapi.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1. Inovasi Teknologi Sapi Potong di Indonesia
Untuk dapat mengetahui
dan memahami ketersediaan serta perkembangan teknologi untuk mendorong usaha
peternakan sapi potong, perlu dilihat perkembangan bioteknologi peternakan.
Bioteknologi merupakan suatu integritas berbagai cabang ilmu, antara lain
biologi, kimia, genetika, pemuliaan, reproduksi, imunologi, dan komputasi (Pang
1990). Bidang ini sangat kompleks, rumit, mahal, dan perlu waktu yang cukup
lama untuk menguasainya. Peralatan dan sumber daya manusia yang menggeluti
bidang ini sangat spesial.
Cakupan bioteknologi
peternakan meliputi: (1) teknologi reproduksi, seperti IB, TE, kriopreservasi
embrio, fertilisasi in vitro (IVM/IVF/IVC = in vitro maturation/ in vitro
fertilization/in vitro culture), sexing sperma maupun embrio serta kloning dan
splitting; (2) rekayasa genetik seperti genome maps, Marker Assisted Selection
(MAS), transgenik, identifikasi genetik, dan konservasi molekuler; (3)
pengkayaan pakan, seperti manipulasi mikroba rumen dan perekayasaan pakan;
serta (4) bioteknologi yang berkaitan dengan bidang veteriner (Cunningham 1999).
Dalam makalah ini yang akan dijelaskan adalah sebagian atau hal-hal yang
penting dan berkaitan dengan prospek pengembangan sapi bakalan di Indonesia.
Teknologi IB telah
diaplikasikan sangat meluas dan dimulai sejak 60 tahun yang lalu. Secara alami,
seekor pejantan hanya mampu melayani 20-30 ekor betina, tetapi dengan teknologi
IB kemampuannya meningkat ribuan kali. Teknologi IB dapat digunakan untuk membantu
pelaksanaan program seleksi pada sapi potong, karena akan meningkatkan
intensitas seleksi (i). Namun, hal ini akan diimbangi dengan meningkatnya
interval generasi (L) karena diperlukan uji zuriat atau progeny testing yang
memerlukan waktu cukup lama. Oleh karena itu diperlukan upaya lain agar rasio i/L
maksimum sehingga respons seleksi (R) terus meningkat setiap tahun. Dalam
jangka panjang, aplikasi IB juga dapat mempengaruhi keragaman sehingga respons seleksi
mengalami pelandaian (plateau). Sementara itu, bila tidak didukung dengan pencatatan
yang baik, peluang akan terjadi silang dalam (inbreeding) sangat besar.
Aplikasi IB di Indonesia
sudah sangat meluas, terutama pada sapi perah (> 90%) dan sapi potong.
Secara intensif IB pada sapi perah mulai dilakukan pada tahun 1972 oleh Lembaga
Penelitian Peternakan, Bogor (Sitorus 1973). Sementara itu, IB pada sapi potong
di Indonesia saat ini mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Hal ini antara
lain karena langkanya pejantan di beberapa kawasan sentra produksi sapi (Jawa).
Di beberapa negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada
sapi potong hanya terbatas pada kelompok elit untuk tujuan menghasilkan bibit
(pemuliaan).
Penyempurnaan kegiatan
IB di Indonesia yang saat ini sedang dan akan dilakukan harus dikerjakan
terutama dalam aspek pemilihan pejantan, menghindari terjadinya depresi akibat
inbreeding serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan IB itu sendiri,
seperti kualitas sperma, kualitas resipien, ketepatan deteksi estrus, dan
keterampilan inseminator.
Saat ini telah
dilakukan penelitian di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) penggunaan cryoprotectant
tertentu dalam pembuatan semen cair sehingga semen tidak perlu lagi disimpan dalam
tangki nitrogen cair, tetapi cukup di dalam refrigerator (suhu 5oC). Teknik ini
mampu menyimpan semen dalam waktu relatif lama (5-7 hari) dengan kualitas yang
tetap baik untuk diinseminasikan pada betina estrus. Pada prinsipnya, semen
dibuat seperti hewan yang hibernasi pada waktu musim dingin dan akan aktif
kembali setelah berada pada saluran reproduksi betina.
Keberhasilan IB untuk
menghasilkan seekor pedet bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah
berhasil dengan baik (Setiadi et al. 1997; Siregar et al. 1997). Salah satu
kunci keberhasilan IB adalah sapi dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan.
Hal ini akan memudahkan dalam mendeteksi berahi dan melaksanakan IB. Namun,
secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alami.
Keberhasilan IB untuk
meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporan
yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi
hasil IB praktis belum banyak dievaluasi. Oleh karena itu, pelaksanaan IB harus
disesuaikan dengan tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta
memperhatikan interaksi genetik dan lingkungan. Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan
bakalan pada peternakan cow-calf operation maka penggunaan pejantan yang
berukuran besar (misalnya Simental dan Limousin) hanya dapat dilakukan pada
daerah yang ketersediaan pakannya memadai (Diwyanto et al. 1999).
Bila sekarang kita
menengok pada teknologi TE maka dapat diketahui bahwa keberhasilan TE pertama kali
dilaporkan pada kelinci tahun 1891 di Inggris dan pada domba pada tahun 1934
(Warwick et al. 1934); pada sapi, kerbau dan babi pada tahun 1951 (Willet et
al. 1951; Kvasnickii 1951), dan pada kuda tahun 1974 (Oguri dan Tsunami 1974).
Transfer embrio pada mulanya digunakan dalam perdagangan. ternak, terutama yang
pada waktu itu dilindungi, seperti ekspor embrio sapi yang disimpan dalam alat
reproduksi kelinci dari Eropa ke Afrika Selatan. Saat ini perdagangan embrio sudah
sangat meluas, melalui penjualan embrio beku yang disimpan dalam nitrogen cair.
Teknologi TE sudah
sangat luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir (Cunningham 1999), antara
lain dengan pelaksanaan Multiple Ovulation and Embryo Transfer (MOET) seperti
di Eropa, Amerika, Jepang, Australia, dan negara maju lainnya. Tujuannya adalah
untuk menghasilkan anak (embrio) yang banyak dalam satu kali siklus. Saat ini
produksi embrio dapat mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya 5
embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan. Karena itu, seekor
sapi (donor) secara teoritis dapat menghasilkan 20-50 embrio/ tahun (dalam
keadaan normal seekor sapi hanya mampu menghasilkan seekor anak per tahun).
Aplikasi TE biasanya
dilakukan pada sapi perah untuk memperbaiki mutu genetik, yaitu dengan meningkatkan
intensitas seleksi (i) pada galur induk. Namun, ada kerugian yang ditimbulkan,
yaitu interval generasi (L) induk juga akan meningkat. Untuk tujuan perbanyakan
ternak yang berkualitas, teknologi MOET akan sangat efektif karena yang
diperbaiki adalah hewannya (diploid), bukan sekedar upgrading (haploid) seperti
pada teknologi IB. Oleh karena itu, teknologi TE dapat dipandang sebagai upaya
mengganti ternak yang ada dengan populasi baru (breed replacement). Pada tahun
1997, aplikasi TE di dunia sudah mencapai sekitar 460 ribu embrio (Thibier
1998) dan di India aplikasi TE pada kerbau perah mencapai sekitar 1.000 embrio (Cunningham
1999).
Koleksi dan transfer
embrio saat ini sudah dapat dilakukan dengan cara nonoperasi, sehingga akan
memudahkan pelaksanaannya di samping biayanya lebih ekonomis. Keberhasilan
transfer embrio segar dapat mencapai 55-65%, sedangkan embrio beku 50-60% (Hasler
1995). Teknik ini akan mampu meningkatkan kualitas genetik ternak sampai 10% (Lohius1995),
yang jauh di atas metode konvensional yang hanya sekitar 2-5%. Namun, seperti halnya
teknologi IB, aplikasi TE dalam program pemuliaan akan mengakibatkan penurunan keragaman
dalam suatu populasi yang tertutup sehingga respons seleksi lama-kelamaan akan mengalami
pelandaian yang signifikan.
Aplikasi TE di
Indonesia telah dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Keberhasilan teknologi TE
di Indonesia sangat beragam dan dampaknya terhadap perkembangan dan peningkatan
produktivitas ternak sangat minimal. Program untuk mengembangkan dan
memanfaatkan teknologi TE belum terfokus dengan baik, padahal teknologi ini
merupakan salah satu wahana yang sangat penting untuk meningkatkan
produktivitas ternak, terutama sapi perah.
Salah satu program yang
dikembangkan di Balitnak bekerja sama dengan University of Wisconsin, USA,
adalah upaya membentuk sapi perah hibrida (Triwulanningsih et al. 2002).
Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa program upgrading sapi lokal
dengan IB di negara berkembang kurang berhasil dengan baik (Rutledge 1995),
sehingga diperlukan suatu terobosan dengan memanfaatkan teknologi IVM/IVF/IVC
dan TE. Pada penelitian tersebut digunakan semen sapi dari beberapa bangsa,
seperti FH, Brahman maupun Bali dan sel telur dari sapi perah di negara. bagian
Wisconsin yang difertilisasi dan dikultur secara in vitro. Kemudian blastosist yang
bagus dibekukan lalu dibawa kembali ke Indonesia dan selanjutnya ditransfer
pada resipien di Indonesia. Diharapkan anak sapi hasil persilangan ini akan
menjadi sapi perah yang dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis,
tetapi mempunyai fertilitas yang tinggi serta mampu memproduksi susu yang jauh
lebih tinggi dari sapi lokal Indonesia karena sapi F1 ini mempunyai hybrid
vigour yang tinggi.
Namun demikian,
pendekatan tersebut di atas mempunyai beberapa kelemahan, antara lain mutu
genetik sel telur yang digunakan tidak diketahui dengan pasti. Di samping itu,
pembuatan ternak hibrida menimbulkan ketergantungan pada pasokan sel telur dari
luar negeri. Teknik ini justru dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ternak
murni (elite group), misalnya sapi Simental murni, guna mendukung program
pemuliaan dan IB, atau menyediakan pejantan dalam cow-calf operation untuk
menghasilkan sapi bakalan. Apabila kerja sama dengan institusi di luar negeri dapat
dibina, tidak mustahil akan dapat diproduksi embrio dengan mutu genetik yang
baik dengan harga yang relatif sangat murah, yaitu sekitar US $ 5-10.
Teknologi ET merupakan
suatu alat untuk memperbaiki produktivitas ternak. Oleh karena itu, aplikasinya
perlu mempertimbangkan aspek kemudahan dan efisiensi ekonomi. Dalam jangka pendek,
teknologi ini hanya cocok untuk dikembangkan dalam rangka membuat kelompok elit
untuk tujuan pemuliaan, bukan untuk tujuan produksi massal. Pengembangan
teknologi TE secara meluas saat ini justru kurang bermanfaat karena prakondisi
yang diperlukan masih belum memungkinkan.
Pada tahun 1952 untuk
pertama kalinya dilaporkan keberhasilan teknologi splitting pada katak dan pada
tahun 1980-an pada domba (Willadsen 1986; Cunningham 1999). Saat ini pembelahan
embrio secara fisik telah dapat menghasilkan kembar identik pada domba, sapi,
babi, dan kuda (Brem 1995). Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan
beberapa kali, sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat rendah.
Teknik pembelahan
embrio di masa depan mempunyai prospek yang sangat baik, terutama pada ternak
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah). Namun perlu dilakukan
penyempurnaan agar tingkat keberhasilannya lebih baik serta aplikasinya lebih
mudah dan murah. Saat ini perkembangan teknologi pembelahan embrio di Indonesia
masih sangat terbatas, baik dalam arti jumlah kegiatan maupun tingkat
keberhasilannya.
Pada tahun 1996 telah
dilaporkan keberhasilan kloning domba yang berasal dari sel somatik jaringan
kelenjar susu. Selanjutnya kloning pada tikus yang berasal dari sel kumulus sel
telur pada stadium metafase II juga telah berhasil. Juga keberhasilan kelahiran
delapan ekor pedet hasil kloning sel epitel jaringan reproduksi sapi betina
dewasa (Campbell et al. 1996; Wilmut et al. 1997; Kato et al.1998; Wakayama et
al.1998). Keberhasilan teknologi ini akan memberi peluang yang besar terhadap
kemajuan iptek peternakan di masa yang akan datang. Splitting maupun kloning
juga akan sangat bermanfaat dalam membantu program konservasi secara in vitro
(cryogenic preservation). Namun, upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai manfaat
ekonomis masih perlu dikaji, di samping masalah lain yang berkaitan dengan
etika dan sosial.
Bioteknologi peternakan
yang saat ini banyak ditekuni para ahli adalah teknologi sexing, baik pada
embrio maupun sperma. Sexing embrio dapat dilakukan dengan mengekstraksi satu sel/blastomer
dari morula dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Morula tersebut
kemudian dikultur kembali sampai menjadi blastosist. Dengan menggunakan metode ini
kebenarannya dapat mencapai 99% seperti yang dilaporkan oleh Kirkpatrick dan
Monson (1993) di mana telah di-sexing 40 in vitro biopsied embryos lalu
dikultur kembali kemudian 18 embrio yang telah dibiopsi ditransfer pada
resipien dan 12 ekor telah berhasil bunting.
Peneliti yang lain telah
melakukan pemisahan spermatozoa yang mengandung kromosom X dan Y dengan cara sedimentasi,
sentrifugasi, elektroforesis, dan penggunaan antigen. Namun, ternyata belum
efektif karena spermatozoa yang telah mengalami proses demikian kemampuannya
untuk memfertilisasi sel telur menjadi menurun (Diwyanto et al. 1999).
Sementara itu bila sexing dilakukan dengan flow cytometry akan menghasilkan 92%
betina dan 8% jantan (Stern et al. 2001). Susilawati et al. (1997) telah
melakukan pemisahan spermatozoa pada sapi dengan menggunakan sephadex G-200 dan
mendapatkan kelahiran pedet betina 82,5% dari 40 ekor pedet yang dilahirkan.
Perbedaan fenotipe
individu direfleksikan oleh perbedaan gen yang terdapat dalam individu
tersebut. Sebuah gen merupakan satu rantai DNA yang mengkode satu protein
tertentu dan membawa sifat tertentu dari individu. Beberapa gen yang sederhana mempunyai
pengaruh langsung terhadap fenotipe ternak, seperti gen yang menentukan warna
bulu, tipe telinga, bentuk tanduk, dan kualitas daging. Metode seleksi dengan
memanfaatkan teknologi MAS untuk menentukan posisi suatu gen yang terletak
dekat dengan gen-gen yang mempengaruhi sifat produksi (Quantitative Trait Loci =
QTL) telah mulai banyak dikembangkan (Muladno 1994). Namun, untuk fenotipe
produksi susu sampai saat ini masih sangat sulit untuk mengidentifikasi gen
tunggal yang signifikan berperan di dalamnya, karena diduga banyak gen yang
berinteraksi mempengaruhinya (Sumantri et al. 2001).
Saat ini peneliti dari
Puslitbangnak bersama peneliti dari Australia dan LIPI sedang melakukan
penelitian gen penciri yang dapat mendeteksi gen yang resisten terhadap infeksi
Fasciola gigantica dan cacing Haemonchus contortus pada domba ekor tipis.
Seperti penelitian pada ayam, analisis juga memerlukan reference family;
misalnya untuk gen resisten terhadap cacing hati perlu dikaji back cross dengan
domba Merino yang bersifat sensitif dan domba Jawa/Sumatera yang bersifat
resisten. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk
meningkatkan mutu genetik sapi yang saat ini menghadapi masalah serupa yang
cukup serius.
Teknologi transgenik pada
ternak saat ini masih dipandang cukup kontroversial. Pada mamalia umumnya
transfer gen dilakukan dengan injeksi langsung DNA lain ke dalam nukleus pada
saat stadium embrionik. Transfer gen dilakukan pada ternak sejak pertama kali
keberhasilannya tahun 1985, dan selanjutnya lebih dari 50 gen yang berbeda
telah dimasukkan dalam embrio ternak. Karena terlalu banyak tahap yang harus
dilalui maka keberhasilannya sangat rendah, umumnya hanya 1%.
2.2. Penerapan Teknologi Penyerentakan Berahi
Pada Sapi
Berdasarkan penelitian
terhadap induksi pembentukan kantong dan pertumbuhan dua jenis Nepenthes yaitu Nepenthes
ampullaria dan Nepenthes mirabilis dengan berbagai konsentrasi media MS yang
digunakan maka dapat disimpulkan bahwa jenis Nepenthes memberikan pengaruh
terhadap jumlah daun, jumlah kantong dan tinggi tanaman pada media in vitro.
Selain jenis Nepenthes, berbagai konsentrasi media MS juga mempengaruhi
beberapa variabel di antaranya adalah jumlah daun dan jumlah kantong yang
terbentuk, namun tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh konsentrasi media MS.
Jumlah daun N. mirabilis lebih banyak dibandingkan dengan N. ampullaria
sebaliknya jumlah kantong N. ampullaria lebih banyak dibandingkan N. mirabilis.
Semua konsentrasi media yang digunakan mampu menginduksi pembentukan kantong
secara in vitro. Jumlah kantong tertinggi dihasilkan oleh media 0,0625 MS yaitu
sebesar 6.
Dasar fisiologis dari
penyerentakan berahi adalah hambatan pelepasan Luteinizing Hormone (LH) dari
hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de Graaf atau
penyingkiran corpus luteum baik secara manual atau secara fisiologis dengan
pemberian preparat hormon luteolitik. Karena progesteron dapat menghambat
pelepasan LH, pertumbuhan folikel, berahi, dan ovulasi maka progesteron merupakan
preparat pertama yang dipakai untuk penyerentakan berahi (TOELIHERE, 1981).
Teknik penyerentakan
berahi yang sudah dicobakan pada ternak sapi antara lain penyingkiran corpus
luteum (CL), penyuntikan hormon gonado-trophin, penggunaan hormon progesteron,
penyuntik-an hormon estrogen, kombinasi progesteron dengan estrogen dan
penyuntikan prostaglandin F2α (PGF2α).
Penyingkiran corpus
luteum
Penyingkiran atau
enukleasi CL merupakan cara yang paling tua dilakukan pada sapi dan kerbau.
Melalui palpasi rektal, CL disingkirkan dari ovarium dan dijatuhkan ke dalam
rongga perut. Kelemahan dari metode ini, apabila CL yang telah lepas dari
ovarium tertinggal dalam bursa ovarii bisa me-nyebabkan adhesio pada ovarium
yang nantinya bisa menyebabkan kemajiran yang permanen. Bila CL telah
tersingkir, hambatan progesteron terhadap pe-lepasan hormon-hormon
gonadotrophin tidak terjadi lagi sehingga terjadi pertumbuhan folikel, berahi,
dan ovulasi.
Metode pengendalian
berahi dengan cara penyingkiran CL menyebabkan berahi dan ovulasi dalam waktu
tiga sampai lima hari dengan rataan dua sampai tujuh hari. Hasil penyingkiran
CL terhadap sapi yang mengalami anestrus di daerah Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya
Jawa Barat menunjukkan 71,4% sapi berahi dan positif bunting pada IB pertama
dan 14,3% positif bunting pada IB kedua (HERDIS, 1990).
Penyingkiran CL
merupakan metode yang paling praktis dan ekonomis. Namun demikian sedapat
mungkin dihindarkan, karena pada keadaan pyometra atau penyakit-penyakit lain
akan dapat menyebabkan terjadinya adhesio atau pembarahan corpus luteum
(SUARDI, 1989).
Penggunaan hormon
gonadotrophin
Metode ini dilakukan
untuk merangsang pertumbuhan folikel sehingga timbul keadaan berahi dan
ovulasi. Berbeda dengan enukleasi CL di mana gonadotrophin disintetis dalam
hewan itu sendiri, maka cara kedua ini, gonadotrophin dimasukkan dari luar.
WOLFENSON et al. (1994) telah melaporkan teknik penyerentakan berahi dengan
menggunakan GnRH analog (buserelin) 8 μg dan PGF2α sebanyak 25 mg pada hari ke
tujuh setelah pemberian buserelin. Pada penelitian ini diperoleh hasil, berahi
timbul 2,6 ± 4 hari setelah pemberian PGF2α.
Pemakaian Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG) telah digunakan untuk sapi penderita anestrus yang
disebabkan oleh hipofungsi ovarium, 55% sapi mengalami kesembuhan setelah
pemberian PMSG dengan dosis 1.500 sampai 2.000 dosis (SUARDI, 1989).
Menurut TWAGIRAMUNGU et
al. (1992) pemberian dua injeksi buserelin pada hari ke-0 sebanyak 8 μg dan
hari ke-3 sebanyak 4 μg yang diikuti pemberian PGF2α pada hari keenam, memberi
pengaruh mening-katkan ketajaman tanda-tanda berahi setelah lutelisis oleh
PGF2α, tetapi tidak mempengaruhi CR. Pe-manfaatan hormon gonadotrophin telah
digunakan untuk melihat pengaruh pembatasan energi pada respon penyerentakan
berahi setelah beranak pada sapi Charolais dengan memberikan Norgestoment
implant (Crestar ND) dan 600 IU PMSG (Cronogest PMSG ND). Hasil penelitian
memperlihatkan tidak ada pengaruh pembatasan sumber energi antara kelompok sapi
yang diberi pakan sumber energi standar (100%) dan kelompok sapi yang diberi
pakan sumber energi yang dikurangi (70%). Semua sapi menunjukkan puncak LH dan
ovulasi setelah perlakuan yang diperlihatkan oleh puncak konsentrasi
progesteron 10 hari setelah IB dan hanya satu ekor sapi dari masing-masing
kelompok yang tidak bunting setelah diuji oleh PSPB RIA 35 hari setelah IB
(GRIMARD et al., 1994).
Penggunaan hormon
progesteron
Prinsip dari metode ini
adalah menghambat sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteonizing
Hormone (LH) dari adenohipofisis sehingga menghambat pematangan folikel de
Graaf dan ovulasi sel telur. Pemberian progesteron akan merubah fungsi ovarium
dan dalam dosis yang cukup dapat menghambat ovulasi. Untuk penyerentakan berahi
biasanya dipakai progesteron atau preparat-preparat progesteron misalnya
6-Methyl-17-Acetoxy Progesterone (MAP); 6-Chloro-6-didydro-17-Acetoxy
Progesterone (CAP) dan Dihydroxy Progesterone Acetophenide (DHPA) (TOELIHERE,
1985).
Beberapa penelitian
menunjukkan pemberian hormon progesteron pada sapi secara berulang dapat
mengendalikan terjadinya berahi dan ovulasi. Hormon progesteron merupakan hambatan
terhadap pem-bebasan hormon gonadotrophin yang menyebabkan hewan tetap berada
dalam keadaan anestrus karena tidak terjadi pertumbuhan folikel. Penggunaan
progesteron dalam penyerentakan berahi pertama kali dilaporkan oleh ULBERG pada
tahun 1951, pemberian 50 sampai 100 mg progresteron (P4) setiap hari dari hari
ke-15 sampai ke-19 siklus berahi akan menyebabkan berahi setelah 4,6 hari
penghentian penyuntikan. Pemberian P4 tidak selalu memberikan respon yang
seragam pada setiap individu ternak. Keadaan ini terjadi karena perbedaan
individual dalam penyerapan hormon tersebut dan kadar penghambatan dan
pemulihan kembali setelah persediaan hormon di dalam tubuh habis (TOELIHERE,
1981).
Penggunaan hormon
progesteron selama sembilan hari mampu menimbulkan laju kebuntingan 40% pada
sistem peternakan rakyat yang tradisional dan ekstensif di daerah Lampung
(MELASARI, 1998). Penggunaan progesteron dalam penyerentakan berahi akan lebih
efektif apabila ternak memiliki CL. Keberadaan progesteron yang dihasilkan CL
memberi-kan respon berahi dan laju kebuntingan yang lebih baik dibandingkan
tanpa kehadiran CL (SOLIHATI, 1998).
Penggunaan Control
Internal Drug Release (CIDR) untuk penyerentakan berahi telah banyak dilakukan
baik pada sapi maupun ruminansia kecil. Sebuah perusahaan swasta New Zealand
“InterAG” sejak tahun 1980 telah mengembangkan “EAZI BREED CIDR” yang
mengandung 1,9 g progesteron. Progesteron akan dilepas secara difusi dari karet
silikon yang dibentuk menyerupai huruf “T” yang diaplikasikan secara intra
vagina dengan meng-gunakan aplikator. Untuk sapi dara, penyerentakan berahi
dilakukan dengan cara pemberian “EAZI BREED CIDR“ dan kapsul “CIDIROL“
(mengandung 10 mg oestradiol benzoat) selama 10 hari. Respon berahi yang
dihasilkan mencapai lebih dari 90% dengan laju kebuntingan sebesar 65%
(INTERAG, 1996).
Untuk sapi laktasi,
“EAZI BREED CIDR” ditambah kapsul “CIDIROL” diberikan selama tujuh hari
sedangkan prostaglandin diberikan pada hari ke-6. Deteksi berahi dilakukan dari
hari ke-2 sampai hari ke-4 setelah CIDR dilepas. Respon berahi yang dihasilkan
mencapai lebih dari 90% dengan laju kebuntingan antara 50–55%.
Program untuk sapi tipe
pedaging sama dengan sapi laktasi tapi pada hari kedelapan diberi 2 ml
“CIDIROL” yang mengandung 0,5 mg/ml estradiol benzoat. IB dilakukan pada hari
ke-48 sampai 52 setelah pengambilan CIDR. Respon berahi lebih dari 90% dengan
laju kebuntingan sekitar 60% (INTERAG, 1996).
MACMILLAN et al. (1991)
melaporkan pemasukan CIDR yang mengandung P4 pada hari pertama dari siklus
berahi dan dikeluarkan pada hari ke-4, 60% dari sapi-sapi yang mendapat
perlakuan, siklus berahinya dipersingkat 7-9 hari. Sementara itu, pemasukan
CIDR pada pertengahan siklus (hari ke-9 sampai hari ke-12) selama empat hari
tidak merubah interval antara berahi.
Selain dalam bentuk
CIDR, progesteron dapat diberikan dalam bentuk Progesterone Releasing
Intravagina Devices (PRID). BROADBENT et al. (1993) membandingkan penggunaan
CIDR dan PRID pada sapi dara. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya berahi
setelah pengambilan CIDR nyata lebih pendek dibandingkan PRID (50,44 vs 55,50
jam) sedangkan Sinkronisasi Rate antara CIDR dan PRID tidak berbeda nyata
(74,0% vs 70,4% ). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa CIDR cocok untuk
penyerentakan berahi sapi penerima dalam program transfer embrio.
LARSON dan BALL (1992)
mengemukakan bahwa kombinasi progesteron dan estrogen telah banyak 3 progesteron
bersamaan dengan estrogen pada sapi menghasilkan pemunculan gelombang folikel
baru, tiga sampai lima hari kemudian (BO et al., 1990). “Synchro-Mate B” (CEVA
Laboratorium, Overland Park, KS) merupakan produk komersial yang telah diakui
untuk penyerentakan berahi pada sapi perah, sapi dara, dan sapi potong setelah
beranak (LARSON dan BALL, 1992).
Menurut SOLIHATI (1998)
penyerentakan berahi pada sapi perah FH dengan menggunakan progesteron
intravaginal bersamaan dengan estrogen dan injeksi 15 mg PGF2α secara intra
muskuler (IM) memberikan respon berahi (90%) dan laju kebuntingan (77,8%).
Pelaksanaan
penyerentakan berahi yang dilakukan oleh BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN
TEKNOLOGI dan PRANCE EMBRYON GENETIQUE ELEVAGE (PEGE) (1996) dengan menggunakan
implant subkutaneus Crestar (Norgestomet yang mengandung 3,3 mg P4 dan 3 mg
Estradiol) selama sembilan hari dengan perlakuan PMSG hari ke-9 pada 30 ekor
sapi dara, diperoleh hasil 22 ekor timbul berahi setelah 2-3 hari. LARSON dan
BALL (1992) melaporkan tidak terdapat perbedaan antara peng-gunaan implant
subkutaneus P4 yang dikombinasikan dengan estradiol (Crestar, Intervet UK) pada
sapi dara selama sembilan hari dibandingkan dengan perlakuan PGF2α (7,5 mg
luprostiol, Prosolvin, Intervet) yang diberikan berselang 11 hari. Dari hasil
penelitian yang dilakukan ternyata kombinasi antara hormon estrogen dan
progesteron merupakan metode penyerentakan berahi yang cukup efektif untuk
ternak sapi.
Penyuntikan hormon
estrogen
Penyuntikan hormon
estrogen biasanya digunakan pada ternak yang mengalami hipofungsi ovarium.
Ovalumon merupakan produk komersial estrogen yang dipasarkan dengan kemasan 30
ml mengandung 600.000 IU etinil estradiol. Penyuntikan hormon estrogen hanya
dapat menyebabkan terlihatnya gejala berahi tetapi tidak akan menyebabkan
terjadinya ovulasi (SUWARDI, 1989). Penggunaan estrogen diharapkan akan
meregresikan folikel dominan sehingga muncul folikel dominan dari gelombang
berikutnya yang menghasilkan oosit berkualitas baik untuk meningkatkan
fertilitas (BO et al., 1994). Biasanya untuk penyerentakan berahi estrogen
diberikan bersama progesteron dan PGF2α.
Pada sapi potong
pemberian estrogen dan progesteron selama sembilan hari menimbulkan respon
berahi 85,70% dengan angka kebuntingan 50% (MELASARI, 1998). Pengunaan estrogen
dan progesteron intravaginal dan injeksi 15 mg PGF2α secara intra muskuler pada
sapi perah memberikan respon berahi 90% dan angka kebuntingan 77,8% (SOLIHATI,
1998).
Penyuntikan
prostaglandin F2α
Prostaglandin F2α
sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan dipakai untuk menggertak
berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis ternak. Penggunaan PGF2α
untuk penyerentakan berahi pada ternak sapi telah dilaporkan pertama kali oleh
ROWSON pada tahun 1972 (TOELIHERE, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya
hambatan dari progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin
hilang, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang
dilisis adalah CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa
dilakukan kalau CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal
untuk penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi
sekaligus. Agar semua hewan bisa berahi dalam priode waktu yang hampir
bersamaan dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan
pertama.
Kemungkinan lain tidak
beresponnya ternak terhadap PGF2α adalah ternak tersebut mengalami hipofungsi
ovarium atau karena berahi yang terlalu pendek. Adanya ambang optimal reseptor
PGF2α di dalam CL yang meningkat akibat penyuntikan suatu hormon yang terlampau
sering, menyebabkan tingkat kepekaan ternak menurun dan akibatnya pengaruh yang
diharapkan gagal diekspresikan (TOELIHERE, 1981).
Hasil penyerentakan
berahi dengan menggunakan PGF2α secara intra muskuler satu kali pada fase
luteal atau dua kali berselang sebelas hari tanpa melihat siklus berahi
hasilnya bervariasi antara 75%-100% (MACMILAN et al., 1991).
Dosis PGF2α untuk sapi
5-10 mg per ekor melalui intra uterus dan 30–35 mg melalui intra muskuler. Bila
dibandingkan dengan metode lain, hasil penyerentakan berahi dengan PGF2α cukup
baik dengan laju kebuntingan mencapai 70% (SUWARDI, 1989 ).
Kecepatan timbulnya
berahi setelah penyuntikan PGF2α secara intra muskuler pada sapi Bali
bervariasi antara 58,18 jam (ISMUDIONO, 1982); 67,84 ± 21,16 jam (BELLI, 1990)
sedangkan secara intra uterin adalah 70,40 ± 18,40 jam (BELLI, 1990). Beberapa
peneliti telah menggunakan kombinasi Melengestrol Acetate (MGA) dan PGF2α untuk
penyerentakan berahi pada sapi pedaging. Menurut JAEGER (1992) metode
penyerentakan berahi kombinasi MGA lewat pakan selama 14 hari dengan injeksi
prostaglandin 17 hari setelah selesai MGA, efektif untuk penyerentakan berahi
pada sapi dara tipe pedaging dan fertilitas yang dihasilkan tidak berbeda
dengan ternak sapi dara kontrol.
MAUCK (1994)
membandingkan dua sistem MGA-PGF2α untuk penyerentakan berahi pada sapi dara
tipe pedaging. Kelompok pertama diberi pakan yang mengandung 0,5 mg
MGA/ekor/hari selama 14 hari, selanjutnya 17 hari kemudian diberi 25 mg PGF2α
secara intra muskuler. Kelompok kedua diberi 0,5 mg MGA/ekor/hari selama 7 hari
dan 25 mg PGF2α secara intra muskuler pada hari terakhir pemberian MGA. Dari
pengamatan yang dilakukan diperoleh bahwa perlakuan pertama (14-MGA) memberikan
respon berahi dan fertilitas lebih tinggi dibandingkan perlakuan kedua (7-MGA).
KING (1994) dalam
penelitian penyerentakan berahi dengan metode 14 hari MGA-prostaglandin (0,5
mgMGA/hari/ekor ditambah 25 mg PGF2α setelah 17 hari selesai pemberian MGA)
menyimpul-kan bahwa waktu inseminasi 72 jam setelah pemberian prostaglandin
memberikan laju kebuntingan yang sama dengan inseminasi yang dilakukan pada
12-18 jam setelah timbulnya berahi alamiah dengan derajad berahi yang lebih
tinggi pada berahi hasil penyerentakan berahi.
BAB
3
KESIMPULAN
1.
Indonesia memiliki
banyak tanaman kantung semar yang endemik
2.
Kemampuan kantung semar
termasuk kemampuan yang unik sebagai tanaman yang hidup di tempat yang miskin
unsur hara.
3.
Penelitian lebih lanjut
tentang ketermanfaatan senyawa yang dihasilkan kantung semar belum dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bhattacharyya, B
dan B.M. Jahri. 1998. Flowering Plants Taxonomy and Phylogeny. New Delhi:
Narosa Publishing House.
Clarke C. 1997. Nepenthes of Borneo. Natural History
Publication (Borneo). Kota Kinibalu.
Clarke C. 2001. Nepenthes of Sumatera and Peninsular
Malaysia. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinibalu
Ellison AM dan
Gotelli NJ. 2001. Evolutionary ecology of
carnivorous plants. Trends in Ecol. and Evol. 16 (11): 623 – 629
Gibbs, R.D.
1950. Botany, An Evalutionary Approach.
Toronto: The Blakiston Company.
Handoyo, F. dan
M. Sitanggang, 2006. Petunjuk Praktis
Perawatan Nepenthes. Agromedia Pustaka. Jakarta. 66 p.
Hariyadi. 2013. Inventarisasi Tumbuhan Kantung Semar
(Nephentes spp.) di Lahan Gambut Bukit Rawi, Kalimantan Tengah. Palangka
Raya: Universitas Terbuka Palangka Raya. [Vol. 6, No. 1]
Harsono T dan
Chandra RH. 2005. Biodiversity suku
Nepentheaceae di Pulai Poncan, Aek Nauli, dan Gunung Sinabung. J. Ilmiah
Pendidikan. 9(6): 686 – 699
Kinnaird, M.F.
1997. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan
Sejarah Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallacea.
Leach, C.G.
1940. Insect Transmition of Plant Disease.
New York: Mc Grow Hill Book Company.
Lloyd, F.E.
1942. The Carnivoruos Plant. New
York: The Rolland Press Company
Mansur M. 2006. Data 64 Jenis Kantung semar (nepenthes) yang
tercatat Hidup di Indonesia. Jakarta.
Mansur M. 2008. Penelitian ekologi Nepenthes di laboratorium
alam hutan gambut Sabangau Kereng Bangkirai Kalimantan Tengah. J. Tek.
Ling. 9 (1): 67-73.
Mithofer A.
2011. Carnivorous pitcher plants:
Insights in an old topic. Phytochem. 72 (13): 1678–1682.
Mulyanto, H.,
Cahyuningdari D. dan Setyawan A. D. 2000. Kantung
Semar (Nephenthes sp.) di Lereng Gunung Merbabu. Surakarta: Jurusan Biologi
FMIPA UNS. [Vol. 1, No.2]
Owen TP, Lennon
KA, Santo MJ dan Anderson AM. 1999. Pathways
for nutrient transport in the pitcher plant Nepenthes alata. Ann. Bot.
89(4): 459-466
Rischer H, Hamm
A dan Bringmann G. 2002. Nepenthes
insignis uses a C2- portion of the carbon skeleton of lalanine acquired via its
carnivorous organs, to build up the allelochemical plumbagin. Phytochem.
59(6): 603-609
Tjitrosoepomo,
G. 1989. Taksonomi Tumbuhan
(Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Wang, L., Q.
Zhou, Y. Zheng and S. Xu. 2009. Composite
structure and properties of the pitcher surface of the carnivorous plant
Nepenthes and its influence on the insect attachment system. Prog. in Nat.
Sci. 19 (12): 1657 – 1664
Wardani W,
Simbolon W dan Dirman. 2005. Inventarisasi
tumbuhan di lahan gambut Kalampangan Kalimantan Tengah. Lap. Tek. Bidang
Botani. Pusat Penelitian Biologi LIPI, hlm. 204-211
Yelli, Fitri.
2013. Induksi Pembentukan Kantong dan
Pertumbuhan Dua Spesies Tanaman Kantong Semar (Nephentes spp.) Pada Berbagai
Konsentrasi Media MS Secara In Vitro. Bandar Lampung: Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung. [Jurnal Agrotropika 18(2) 56-62]
No comments:
Post a Comment